RSS

pisanga gorenga

saya masih terjaga, masih berpikir ini dan itu dan masih merindukan pisang goreng.
ya, pisang goreng. sudah jam 2 pagi (so?) dan saya tiba-tiba begitu rindu dengan pisang goreng khas rumah saya. tak ada tandingannya di belahan dunia manapun. titik!!!


ah, maaak.. tak sabar menunggu agustus untuk segera pulang ke kota halaman tercinta. hiks hiks..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

morning dews

Sudah larut, tapi mata saya selalu seperti ini. sulit terpejam! dan seperti malam-malam yang sudah-sudah, saya berkeliaran tak jelas mengitari kamar kos sempit ini. dari ranjang, pindah ke toilet, pindah ke meja belajar, pindah ke depan cermin (saya jelek sekali malam ini :p). dan daripada mengurusi insomnia saya yang tak pernah sembuh ini, lebih baik saya bercerita tentang embun.

sudah dalam hitungan tahun lamanya saya tak saling bertegur sapa dengannya. saya rindu, saya rindu embun yang selalu bertengger manis di rerumputan, di pucuk-pucuk daun segala jenis tanaman yang mama tanam di pekarangan rumah. embun yang ramah, senyumnya selalu dia tebarkan pada saya di setiap pagi, mengiringi perjalanan lima belas menit saya menuju sekolah dengan berjalan kaki.

saya mencintai pagi selayaknya saya mencintai kehidupan masa SMA saya. percaya atau tidak, saya selalu merindukan hari untuk cepat berganti. untuk mengenakan seragam putih abu-abu lagi, untuk dihukum lagi jika telat datang, untuk tugas piket yang menyebalkan, untuk belajar matematika lagi, dan untuk melihat seseorang yang saya sukai..

pagi selalu sepaket dengan embun, karena setiap kali melangkahkan kaki keluar dari gerbang, embun akan membasuh sepatu saya seperti dengan cara magis dan membuatnya terlihat lebih bersih dari hari sebelumnya. ah, baik sekali embun itu.


pagi dan embun telah bersekongkol untuk meluluhkan hati saya, untuk membuat saya tak punya alasan untuk tidak bersyukur kepada-Nya atas kehidupan yang indah ini, atas segala kesempurnaan yang dianugerahkan-Nya kepada saya. Ah, betapa beruntungnya karena saya punya Tuhan yang begitu pemurah.

dan kembali lagi soal embun, saya tahu kehadirannya di suatu pagi sungguh amatlah singkat. tak lama setelah dia membasuh ujung sepatu saya yang kotor, matahari akan menguapkannya ke udara dan dalam waktu sesingkat itulah dia pergi tanpa bilang permisi. tapi tak mengapa, saya percaya selama saya masih punya harapan untuk hidup di esok hari, dan selama rumput dan dedaunan masih terhias di halaman rumah saya, berarti saya selalu dan akan selalu berjumpa dengannya *sotoy*

kasihpun mulai deras mengalir

cemerlang sebening embun..
(Ebiet G Ade)


geje sekali kau elvira kiat.. hahhahaaha *tertawa-tawa sambil ngemil paku payung*

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ceritaceritu

Postingan kali ini pake “lw-gw” aja yaaa..

Gw gak tau kenapa ada aermata yang jatoh ketika lw melangkah keluar kosan. Gw seperti merasa ditinggalin, ditinggalin untuk yang kedua kalinya sama orang yang gw sayangin. Gw ngerasain hal yang sama saat dulu lw ninggalin gw disini, seorang diri. Rha, dulu lw bilang kita harus berjuang sama-sama. Tapi lw malah ninggalin gw. Gw ngerasa timpang saat lw gak ada. Gw ngerasa gak bisa nyeritain banyak hal ke orang laen seperti halnya yang gw lakuin kalo ada lw, rha..

Perasaan kehilangan ini bikin aermata gw gak berenti-berenti netes. Rasanya baru tadi sore gw ktawa-ktawa saat lw maen ke kamar gw. Ngobrol banyak hal yang udah berubah semenjak lw ninggalin Jakarta. Sejujurnya gw masih pengen lw disini, gw masih pengen ngeliat lw, masih pengen dengerin cerita-cerita narsis dari mulut bawel lw. Kalo ada yang harus gw salahin, itu hanyalah soal waktu. Waktu begitu cepat ngerebut lw dari gw, ngerebut hari-hari manis kita. Gak bakalan gw lupain saat-saat belajar bareng lw sampe jaoh malem, saat-saat kita ngerasa kenapa kita begitu lemot mempelajari itungan-itungan statistik,, apapun itu, segala hal tentang lw bikin gw kangen, rha.. dan entah kenapa rasa kangen itu bikin gw masih terus aja nangis..

Rha, maafin gw karena sejak hari pertama lw datang ke sini sikap gw terus-terusan dingin. Gw hanya gak tau bagaimana gw mesti bersikap. Tapi jujur dari dalem hati gw, gw bahagia ngeliat lw yang sekarang. Lw yang aktif di organisasi, lw yang berprestasi di kampus lw yang baru, semua itu bikin gw bangga mengenal lw. Lw bener, sekali gagal gak berarti apa-apa. Itu jadi batu pijakan buat jadi lebih baik lagi ke depannya, buat buktiin ke dunia kalo lw bisa lebih sukses dan berkembang walopun lw harus keluar dari STIS. 

Terus berlari, Rha. Lw masih muda, banyak hal yang masih bisa lw capai. Berbuat yang terbaik di tiap titik yang kita singgahi dalam hidup, itu yang selalu gw inget. Makasih ya Rha, untuk semua motivasi lw ke gw, untuk semua kata-kata bijak lw yang nguatin langkah gw, yang bikin gw ngeyakinin hati gw untuk memilih tetap bertahan di kampus ini, apapun yang terjadi. Makasih, Rha.. karena rasa sayang gw yang besar buat lw, gw memilih untuk ngapusin aermata gw n berdoa, semoga lw sukses dalam segala hal yang ingin lw capai :’)

Buat kawan seperjuanganku, Andira Arnita Anis.
I’ll be missing you so much..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hujan, Hujan!

saya mulai jenuh mengerjakan tugas kuliah, mari rehat sejenak karena saya ingin menulis. menulis apa? menulis tentang hujan. kenapa pula harus tentang hujan? karena malam ini hujan, dan cuma hujan yang terlintas di kepala saya :p

sesuatu yang sudah tidak asing lagi dari keseharian saya, berpindah dari 1 bus transJkt ke bus transJkt lainnya, dari warna yang ini ke warna yang itu, dari shelter yang sana ke shelter yang sini. yah, singkatnya saya sudah sangat akrab dengan kendaraan ini. ada sensasi aneh yang saya pikir bakal saya rindukan suatu saat nanti, untuk bus jurusan tertentu yang saya tunggui bermenit-menit lamanya, untuk berebutan tempat duduk dengan penumpang lain, untuk hati-hati dalam melangkah saat keluar dari bus, untuk memberi tempat duduk kepada ibu-ibu tua maupun ibu-ibu yang membawa bayi, untuk berdesak-desakan dalam bus ketika sudah tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa, untuk lengan kokoh seorang pria penyayang yang selalu disodorkan kepada saya untuk menjadi pegangan ketika saya tidak bisa menjaga keseimbangan saat bus mengerem. begitulah, bus transJkt selalu punya romantika tersendiri, tidak terkecuali saat seseorang menyatakan perasaan sukanya kepada saya di dalam bus TrasJkt ini pula (ah, nostalgia deh).

sama halnya dengan romantika di bus, maka hujan pun punya romantika tersendiri, sensasi yang selalu membuat saya merasa hati saya dipenuhi kehangatan berlimpah-limpah. seperti yang dalam ajaran agama saya bilang, hujan itu berkah, berkah dari langit, karunia Tuhan. maka inilah yang terjadi sepanjang perjalanan pulang saya dari Atrium, berdiri dalam bus dan memandangi hujan yang menghantam badan jalan. saya cinta pada cara titik-titik air hujan yang jatuh ke bumi, saya cinta pada irama hujan yang seperti nyanyian dewa langit, saya cinta pada bau hujan yang khas, yang tak pernah berubah belasan tahun sejak saya lahir.

sudah sejak lama saya mencintai kegiatan seperti ini: memandangi hujan. sejak masa saya masih SD dulu setiap kali hujan turun, saya akan duduk manis di bawah jendela ruang tamu yang menghadap langsung ke jalan raya, melihat pohon-pohon yang basah kuyup seperti diserang tentara-tentara hujan dari langit, melihat anak-anak berlarian mengumbar tawa menikmati curahan air dingin dari atas sana, karena semakin deras air yang ditumpahkan, maka semakin giranglah mereka. saya pun sesekali menikmati hal serupa, menikmati sensasi mandi hujan bersama beberapa teman sebaya saat masih kanak-kanak. berlarian dan tertawa-tawa seperti orang sakit gila. tapi saya tidak peduli. perasaan senang yang saya peroleh sulit digambarkan, bahkan sekalipun saya harus dimarahi orang tua, itu tidak seberapa dengan kebahagiaan yang ditawarkan oleh hujan. menyenangkan!

maka malam ini, hujan seperti sengaja datang pada saya dalam wujud lorong waktu. ia seperti tengah memutar video klasik dimana saya yang jadi aktris utamanya. saya melihat diri saya bersama sang hujan dalam latar yang berbeda-beda. kenangan ketika di suatu sore sepulang latihan Porkab saya dihampiri oleh seorang yang *sensor*, kenangan ketika saya dan teman-teman nekat menerobos hujan sepulang les dan bermain bola di jalanan, kenangan ketika seorang kakak kelas (yang naksir saya dan berkali-kali saya tolak) menyanyikan lagu "haruskah kumati karenamu" dari balkon lantai dua ketika saya lewat memakai payung di tengah lapangan, kenangan ketika di suatu malam motor saya mogok dan saya basah kuyup diguyur hujan, kenangan saat pulang bernyanyi dari rumah guru kesenian saya, kenangan akan kebersamaan dengan kawan-kawan yang setia..

banyak yang disuguhkan hujan kepada saya dan tak pernah bisa saya tolak. dalam keadaan seperti apapun, entah gerimis, entah hujan deras, entah hujan angin, entah hujan disertai petir sambar menyambar, saya percaya selama matahari masih ada maka hujan akan mendatangkan pelangi selepas kepergiannya. ya, khusus untuk saya..

jadi apa yang perlu saya takuti? Tuhan itu Maha Baik. hujan, matahari, pelangi, siang, malam, gelap, terang, semuanya saling melengkapi, semuanya datang silih berganti, semuanya membuat rasa syukur saya tidak pernah terhenti. demikian halnya dalam hidup, susah senang, sedih bahagia, itu manusiawi. saya tidak ingin menggerutu terhadap apapun (semoga), saya ingin mencintai hidup saya, mencintai dengan setulus-tulusnya karena itu yang sudah Tuhan berikan kepada saya. mutlak harus saya hargai :)

Aku selalu bahagia saat hujan turun karena aku dapat mengenangmu untukku sendiri..

lalalalala, elviramelantikiat lagi ngelantur :p

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Saya dan Si Sepi

saya mencoba merenungi apa yang belakangan ini terjadi, sesuatu yang cukup menguras pikiran saya, menguras hati saya, merenggut senyum ceria saya beberapa hari ini. saya sudah terlalu sering dikhianati, karena itu saya tidak ingin cengeng. saya mencoba membenah diri dan mengkaji apa yang sebenarnya saya cari. saya memutuskan untuk tidak pergi, atau lebih tepatnya, tidak lari dari semua ini. dimanapun dan kemanapun saya pergi, saya sadar saya tidak akan pernah menemukan tempat yang paling nyaman di dunia ini, karena kenyamanan tidak akan pernah bisa dicari. ia ada di dalam diri saya sendiri. kenyamanan itu saya yang menciptakannya.

ya, saya memilih untuk merasa nyaman di sini, di tengah-tengah keasingan ini, diantara percakapan sunyi dan malam yang selalu saya simak dalam ribuan bahasa. saya tak perlu lari, tak perlu menyingkir, tak perlu menghindar. saya adalah saya. hey, bukan! saya tidak sedang terkurung dalam kesendirian. saya sedang merasakannya, menikmati setiap hembusannya, karena rupanya sendiri itu nikmat. maka saya mencoba bersahabat akrab dengannya. karena lagi-lagi yang saya tahu (heh?), kesunyian takkan mungkin mengkhianati saya. kapanpun saya mau saya bisa meninggalkannya, tapi sungguh saya masih ingin berlama-lama duduk berdampingan dengannya. sendiri, sunyi, hening, senyap, atau bagaimanapun orang menyebutnya, saya perkenalkan, dia sahabat karib saya :)


//elvira yg lagi sarap setelah insiden hilangnya kaen batik mahel >,<//

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

I wanna Grow Old with You

sebelum dibaca ada baiknya siapkan ember dan tisu kalo-kalo ada yang muntah gituh. hi hi hi hi.. dasar abegeh korban sinetron religi ya! muahahahaha



Mungkinkah kita msh akan menatap langit yang sama setelah mendung kita?
Berbicara tentang hari muda kita yang gila.
Tentang pohon2 tua yang pernah meneduhi kita.
Tentang gerimis di suatu senja yang pernah membuatku menangis.
Akankah kita masih saling menatap mesra dan berpegangan tangan?
Duduk di teras sembari menikmati malam.
Tertawa melihat bocah2 kita yang lucu.
Akankah kau masih memelukku saat angin dingin berembus?
Atau kau mungkin mulai tak lagi merasaku?
Hidupku, hidupmu.. akankah menyatu?
Atau ini justru hanya bumbu pelengkap dalam perjalanan panjang kita.
Apakah kan kita habiskan hari tua kita bersama?
Memetik mangga2 di pekarangan rumah.
Merawat bunga2 kita yang indah.
Apakah kita masih akan mendaki gunung2 yang kita rindukan?
Berenang dan membangun istana pasir di laut yang kita cintai?
Takdirku, takdirmu.. tak ada yang bisa membacanya.
Hanya mampu menuliskannya dalam buku catatan ketika semua akhirnya telah berlalu.
Aku ingin..
Aku ingin membangun hari tua denganmu..
Menyiapkan makan siang untukmu.
Memijit bahu dan punggungmu ketika kau kelelahan.
Aku ingin mengencangkan dasimu ketika kau berangkat kerja,
Lalu kerepotan mengurus bayi kita ketika kau sedang tak ada.
Aku ingin bersantai sambil menonton acara tivi kesukaan kita lalu terlelap manja di pahamu.
Aku ingin mencium tanganmu selepas kita shalat berjamaah, lalu bersama mengajari anak2 kita membaca Alquran.
Aku hanya ingin kau yang menghapus airmataku ketika aku bersedih.
Melindungiku ketika aku didera ketakutan.
Tapi bisakah?
Akankah kita tumbuh tua bersama?
Akankah hanya aku yang menjadi satu2nya wanitamu?
Hingga rambut kita memutih,
Hingga kaki kita mulai melemah,
Hingga ajalku dan ajalmu datang menjemput.
Aku ingin, hanya dan hanya ingin menjadi wanita yang tertakdirkan untukmu.
Lalu kelak kita akan berbincang tentang masa muda kita sebelum beranjak tidur.
Tentang pertemuan kita yang berkesan, tentang pencapaian2 yang dulu kita idamkan.
Apakah kita akan menghabiskan hari tua bersama? Dan bisakah?
Tak ada yang tahu..
Kau dan Aku..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mama, Ibuku

Ma, aku ingin menulis tentangmu. Bukan puisi, bukan kata-kata indah yang akan kurangkai, tapi hanya sepotong kerinduan yang ingin kutuang, daripada kubiarkan ia menguap dibawa angin. Aku tahu pasti kau takkan pernah mungkin membacanya, dan kalaupun ia terbaca olehmu, semoga kau mengerti bahwa aku merindukanmu dalam tiap sepi yang menderaku. Aku tak ingin menangis, hanya saja airmata ini selalu meluncur deras setiap kali kuingat akan dirimu, akan nasehat-nasehatmu, akan tatapanmu yang mengandung begitu banyak arti dan tak pernah bisa kujamah.

Ma, dulu saat masih kanak-kanak, aku selalu ingin menjadi cepat dewasa. Selalu kutanyakan kapan aku menjadi besar dan tinggi.. tapi kini, di tengah proses kedewasaanku, aku justru ingin kembali ke masa kanak-kanakku. Kupikir orang dewasa bisa melakukan segalanya, tapi ternyata menjadi dewasa bukanlah hal yang menyenangkan seperti yang dulu kupikirkan. Satu yang pasti dari kenyataan menjadi orang dewasa adalah, aku harus bisa bertanggung jawab untuk menjaga diriku sendiri. Rasanya sungguh tak mengenakkan. Aku jadi terpikir bagaimana dulu engkau menjaga kami bertujuh, mengkhawatirkan kami, apakah itu terasa berat bagimu, ma?

Ma, waktu semakin berjalan ya.. rasanya aku masih ingin berlama-lama di dekatmu. Aku rindu hari ulangtahunku yang selalu dibuatkan nasi kuning olehmu. Tak pernah ada kado, tak pernah ada perayaan tiup lilin, tapi bagiku nasi kuning yang kau buatkan jauh lebih berarti dari itu. Ma, maafkan aku yang belum bisa memberikan apa-apa untukmu, belum bisa menjadi sesuatu meski kau tak pernah meminta sesuatu dariku. Begitu banyak yang sudah kau berikan, dan aku hanya bisa berdoa semoga masih ada kesempatan bagiku untuk memberikan seperseribu saja dari yang pernah kau berikan padaku sebelum akhirnya Tuhan akan memanggilmu.

Ma, mama semakin menua. Setahun sekali berjumpa denganmu, yang kulihat berubah hanyalah rambutmu yang semakin banyak memutih. Dan tulang-tulangmu kini semakin menonjol karena kau semakin kurus. Selebihnya, perhatian dan kasih sayangmu tak pernah berubah, kau masih saja bertanya besok aku ingin dibuatkan masakan apa.. ma, kenapa kau selalu baik padaku? lalu dengan apa aku harus membalas semua kebaikanmu? Kau masih saja meminta maaf jika kiriman uang kos darimu datang terlambat. Padahal harusnya aku yang meminta maaf karena masih saja menjadi beban bagimu. Kau menyesal karena tak bisa ada di sini ketika aku tengah bersedih, padahal aku sendiri tak pernah tahu kapan hatimu sedang diliputi kesedihan.. terbuat dari apa hatimu ma? Kenapa engkau tak pernah marah, tak pernah menyalahkanku jika aku gagal dan membuatmu kecewa? Kenapa kau masih mampu berkata dengan nada lembut sambil mendoakanku ma?

Ma, aku rindu.. di sini begitu kosong tanpamu.. aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin cepat-cepat lulus dari sini dan melihatmu tersenyum di hari wisudaku. Semoga engkau bangga padaku selayaknya aku yang selalu bangga memiliki ibu sepertimu ma. Jika manusia di dunia ini akan terlahir kembali, aku hanya ingin terlahir dari rahimmu, menjadi anak keenammu yang kau beri nama Elvira. Aku tak ingin menjadi orang paling hebat, cukuplah dengan menjadi anakmu saja ma. Ma, Aku mencintaimu. Aku mencintaimu karena Allah. Maafkan aku yang tak pernah mengucapkan kalimat itu secara langsung di hadapanmu.

Ma, bagaimana kabar mama? Di saat jauh dari mama, aku selalu ingat mama. Dulu sewaktu kecil setiap kali pulang sekolah, seperti sebuah keharusan bagiku untuk mencarimu di dapur, melihatmu memasak atau berkutat dengan adonan-adonan kuemu. Barulah aku merasa senang dan segera mengganti baju. Kalau tak melihatmu di dapur, aku pasti akan mencarimu di tiap sudut rumah. Aku tak punya alasan mengapa hal itu selalu kulakukan, tapi ada kelegaan bagiku setiap kali aku melihatmu. Seringkali aku rindu setiap sore yang kau habiskan untuk mencabuti rumput, menyirami bunga-bunga yang kau sayangi, tersenyum pada cabe, tomat, serai dan daun-daun kemangi yang tumbuh lebat di halaman samping rumah kita. Aku hanya duduk di teras sambil memandangimu, merasakan betapa kau teramat mencintai hidupmu yang sebenarnya sudah cukup berat ini.

Beberapa minggu lalu aku mengirimkan cardigan untukmu. Kau menelpon dan berkata bahwa kau menyukai apa yang aku berikan. Kau senang karena cardigannya terlihat bagus di badanmu. Tahukah engkau ma, aku jauh lebih senang karena hal kecil seperti itu mampu membuatmu gembira..  syukurlah karena aku masih bisa memberikan sedikit arti bagimu ma..

Ma,saat kemarin aku pulang, kau bercerita padaku perihal bekas operasi di kakimu yang masih terasa sakit. Bahkan kini ada daging yang mencuat keluar dan membuatmu menahan kesakitan ketika berjalan. Ma, tahukah kau bahwa aku ingin menangis melihat semua kesusahan yang kau tanggung..? tapi dengan itu kau masih bisa tersenyum, masih bersemangat membuatkan sarapan dan snack sore setiap hari untuk anak-anakmu. Aku hanya bisa menuangkan air hangat ke ember, membiarkanmu merendam kakimu  di situ sembari memijat bahu-bahumu yang kelelahan. semoga itu bisa mengurangi rasa sakit yang kau tahan selama ini. andai saja aku dokter ma, mungkin aku bisa menjadi lebih bermanfaat bagimu. Tapi di sini aku hanya belajar tentang statistik ma, tak ada yang kutahu tentang obat-obatan. Aku hanya berharap semoga Allah mengganti setiap derita yang kau tanggungkan dengan pahala berlipat ganda, dan semoga rasa sakitmu menghapus setiap kesalahanmu dan mempertemukanmu dengan surga-Nya.

Ma, maafkan aku yang setiap kali pulang, tak ada yang bisa kubawa selain hanya menambah beban dalam keranjang cucianmu. Dalam usiaku yang terbilang dewasa ini, seringkali aku masih saja mengeluh, mengadu hal-hal kecil padamu, merepotkanmu, menanyakan ini dan itu padamu. Aku sadar tak bisa terlepas darimu. Kau memang muara segala hal. Aku mencintaimu ma, walau itu tak pernah terucap. Sama halnya dengan engkau yang tak pernah mengucap kata cinta pada anak-anakmu, tapi aku tahu kau mencintai kami, ma. Lebih dari kata cinta itu sendiri.

Akhirnya, aku hanya bisa terpaku pada deretan kalimat-kalimat ini. terlalu banyak keindahanmu yang tak terjangkau oleh bahasa, terlalu banyak kasih sayangmu yang tak sanggup kuceritakan lewat kata-kata saja. Semuanya terlalu sesak dan tak akan muat dalam lembar-lembar kertas. Kelak jika nanti aku menjadi seorang ibu, aku hanya ingin dipanggil “mama”, persis seperti aku yang selalu memanggilmu mama..

I love u, Ma..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejuta Ria

Puluhan orang dengan nama Ria datang dan pergi dalam hidup saya. Tak banyak yang saya ingat. Teman SD, teman sepengajian, sepupu, teman kampus, Ria dan begitu banyak Ria-ria yang lain. Saya tidak tahu apa latar belakang para orang tua memberi nama Ria kepada anaknya. Bermacam-macam Ria dengan diikuti awalan, akhiran, sisipan, seperti Astria, Maria, Masria, Riani, Rianda, Mariana, Badria, dan sebagainya. Di kampus saya bahkan ada beberapa yang memiliki nama Ria, tapi Ria yang akan saya ceritakan ini berbeda. Memang benar-benar berbeda dari semua Ria yang pernah saya kenal (halah)!
Saya mengenalnya dengan sangat tidak elegan pada 2008 silam di tempat fotokopian. Kecil, semigendut, potongan rambut Dora The Explorer (rambut kami hampir sama ;p), dan mata yang selalu melotot, itu kesan pertama saya. Kami kenalan dengan, sekali lagi, Sangat Tidak Elegan karena mulanya saya berniat meminta kertas arturo miliknya (atau apalah saya lupa) untuk membuat suatu keperluan terkait dengan ospek kampus yang sangat tidak jelas itu. Kamipun kenalan, dengan culunnya tentu saja.
Sesingkat itulah waktu telah membawa saya dan wanita yang belakangan baru saya ketahui memiliki semacam kelainan pada otak kanannya itu (baca: suka berfantasi ;p) menjalani kebersamaan yang aneh namun terkadang indah. tak perlu banyak kata untuk menjelaskan bahwa sebenarnya Ria adalah seorang sahabat yang baik. Baik dengan cara dan gayanya yang selalu nyentrik. Tapi rasanya begitu menyenangkan bisa mengenal orang seperti dia yang selalu bisa mengimbangi kegilaan saya, selalu bisa ikut berfantasi dalam dunia yang mungkin hanya kami berdua saja yang bisa memahaminya, selalu menjadi partner saya untuk tabok-menabok, dan terlebih dari itu kami sama-sama bisa menjadikan suatu hal yang biasa menjadi tidak biasa dan ganjil lalu menertawakannya sampai lupa diri. Bagi saya itu sesuatu yang tidak akan pernah bisa saya beli.
Saya tidak tahu mengapa Tuhan begitu pemurah selalu menyatukan saya dan Ria di kelas yang sama meskipun bisa jadi Ria selalu mengikuti saya (pergi lu!). waktu tingkat pertama kami di kelas 1F, tingkat kedua di kelas 2A, dan entah kenapa saat memilih jurusan Statistik Sosial Kependudukan untuk tahun ketiga kamipun ditempatkan di kelas yang sama, 3SK1. Suatu kebetulan yang selalu saya syukuri. Karena Ria selalu bisa memaklumi saya yang lamban dan tidak cukup pintar (bego yang diperhalus) dalam memahami materi-materi perkuliahan yang membosankan. Dia tidak pernah menjauhi saya dengan alasan yang mungkin bisa dilakukan oleh siapa saja. Tapi saya tahu Ria tetaplah Ria yang saya kenal selama hampir tiga tahun ini. Ria yang gila, ceria, pintar, dan selalu duduk bersebelahan dengan saya di deretan bangku kedua atau ketiga di ruang manapun untuk mata kuliah apapun (hampir selalu begitu).
Mungkin suatu hari di masa depan nanti saya akan mengenang ini semua. Tentang kebersamaan saya selama masa kuliah bersama seorang perempuan dengan keterbelakangan mental seperti Ria. Mencontek PR bersama, menyambangi Rumah Makan Padang untuk memuaskan kegilaan kami menyantap rendang, keliaran sana-sini di hari-hari menjelang ujian untuk minta diajarkan mata kuliah pemrograman yang kami benci, mengerjai teman-teman sekelas, dan segala hal yang membuat kami cekakak-cekikik sambil saling cekik-mencekik akan selalu saya rindukan. Terimakasih Ria, untuk persahabatan ganjil ini. saya sangat bahagia, semoga kamu juga begitu :’)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

sepeda

Saya merasa seperti sudah sangat tua ketika melihat bocah-bocah gendut memacu sepeda kecilnya di suatu sore. Saya tersenyum melihat mereka, melihat sepeda-sepeda yang berwarna-warni itu. Seperti ada keinginan dalam hati saya untuk ikut bergabung, memacu sepeda dengan laju untuk menantang angin, mengumbar tawa jenaka yang polos, khas anak-anak tentu saja.

Saya sadar betul saya sudah bukan anak-anak lagi. Usia saya sudah, saya malu mengatakannya, sudah duapuluh tahun. Waktu yang tak singkat bagi saya melewati proses dari mulai (yang saya ingat) bisa membuat segelas susu sendiri tanpa bantuan mama, hingga di titik ini yang dalam ilmu sosiologi mungkin disebut dengan pendewasaan. Saya sudah dewasa, bukan remaja apalagi anak-anak. Ah, saya rasanya ingin menawar, bolehkah saya kembali menjadi anak-anak lagi? Bolehkah?

Saya rindu naik sepeda, saya rindu makan gulali, saya rindu rautan-rautan pensil yang lucu di kotak pensil saya, saya rindu bermain boneka, saya rindu bermain engklang dan lompat karet.. saya selalu rindu menjadi anak-anak.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Laut

Saya baru saja membaca note milik sepupu saya. Judulnya “Laut, Pelabuhan, dan Bajak Laut”. Saya tidak akan membahas tentang isi dari note tersebut karena itu bukan poin saya. Saya hanya tiba-tiba menjadi teringat akan kata-kata itu. Laut.. palabuhan..

Laut.. dari sana saya berasal. Laut.. adalah tempat saya kembali dari perjalanan panjang saya. Adalah tempat yang saya tuju dengan mengayuh sepeda untuk sekedar menikmati anginnya yang sepoi, atau melempar kerikil-kerikil kecil ke riak airnya sejauh yang saya bisa. Tentu saja untuk melampiaskan kekesalan saya pada hidup yang terkadang sangat tidak bersahabat dengan orang seperti saya (baca: dimarahi orang tua). atau terkadang malah berlomba dengan teman-teman sebaya, siapa yang bisa paling jauh lemparan batunya, dia yang paling hebat. Laut, tempat yang akrab bagi kami, anak-anak kampung berjidat mengkilap yang tak pernah peduli segosong apa kulit kami nanti jika bertandang ke laut di siang bolong. Laut sudah seperti markas besar kami, tempat kami bercerita tentang mimpi-mimpi klasik setinggi langit dengan ambisi kanak-kanak kami. Jadi dokter, jadi polisi, jadi presiden. Dan saya yang sampai setua ini phobia terhadap jarum suntik tak pernah menuliskan dokter sebagai cita-cita saya. Tidak juga presiden karena saya sudah cukup cerdas untuk tahu bahwa menjadi presiden adalah hal yang sangat membosankan tanpa pernah saya kenal dengan istilah power is sweet. Menjadi orang yang berkuasa itu menyenangkan. Tapi tak mengapa. Cita-cita saya sangat modern kala itu, juga sangat kekanakan. saya ingin jadi astronot. Ada teman-teman saya bahkan yang tak paham arti kata astronot. Cukup saya umpat mereka dengan satu kata: Bodoh (setelah dialihbahasakan). Betapa kerennya jadi seorang astronot, pergi ke bulan, meneliti bintang-gemintang, dan bersahabat dengan makhluk luar angkasa (?).

Laut sudah seperti ibu kandung saya sendiri. Dia membesarkan saya dengan mengenalkan saya pada kerang-kerang yang cantik, pada rasa airnya yang asin, pada ikan-ikan kecil warna-warni yang sering saya tangkap bersama teman-teman. Ikan-ikan itu kami taruh ke dalam stoples milik ibu-ibu kami yang kami curi diam-diam di dapur. Lalu jika ikannya sudah mati, kami akan menguburkannya di halaman belakang rumah. Memperlakukannya persis sebagai manusia yang telah meninggal, lalu memanjatkan doa bersama meski hanya di dalam hati. Laut mengajarkan saya untuk menjadi pribadi yang setia, sebab ia seumpama waktu, terus menemani tumbuh kembang saya dari masa ke masa. 

Laut, pelabuhan, kapal-kapal barang, perahu-perahu nelayan. Kehidupan kami sangat akrab dengan hal-hal itu. Di pelabuhan, kami sering melompat dari satu kapal ke kapal lainnya. Tak peduli jika orang dewasa memarahi kami. Yang kami tahu kami harus bermain sepuasnya dan bertualang seperti bajak laut. Kami naik perahu yang entah milik siapa lalu mendayung seperti orang kesetanan. Kami berteriak, tertawa, saling mendorong agar yang lainnya terjatuh dari perahu, tak peduli bahwa mungkin orang dewasa saat itu sedang memikirkan soal politik, soal nafkah, atau soal ibu-ibu kami yang akan menyajikan hidangan apa untuk makan malam nanti. Kami tak pernah memikirkan hal lain selain bermain. Apalagi memikirkan tentang masyarakat kami yang selalu miskin di tengah kekayaan laut provinsi kami yang terbesar di Indonesia. itu tak pernah masuk dalam obrolan kami karena kami hanyalah anak-anak kecil yang polos. Setelah badan kami semua basah oleh air laut, kami memutuskan untuk berenang, berebutan pelampung, dan bermain adegan yang sangat sinetron yakni pura-pura menjadi putri duyung. Saya yang entah kenapa sampai saat ini masih mempertanyakan peran saya yang tak pernah satu kalipun ditunjuk sebagai putri duyung. Tanpa ada musyawarah mufakat, tanpa ada perhitungan suara seperti layaknya pemilukada, saya selalu diamanahkan untuk menjadi penjahat. Bermacam-macam penjahat. Mulai dari bajak laut, penculik putri duyung, sampai dengan pencuri harta karun. Tugas saya hanya tertawa-tawa keras, marah-marah, menampar putri duyung, dan membuat keputusan-keputusan jahat penuh ambisi. Namun saya harus brsyukur karena saya tidak pernah mendapatkan peran sebagai batu, sebagai keong ataupun sebagai rumput laut. Kami bermain sepuasnya sampai kulit-kulit kami mengerut kedinginan dan kami hanya akan pulang jika adzan maghrib telah bersahut-sahutan.

Entah kenapa saya menjadi rindu akan masa kecil saya, juga teman-teman sebaya yang nyaris tidak saya ketahui keberadaannya kini. Pelabuhan ina marina yag saya rindui, pelabuhan mati yang di sana pernah duduk manis sebuah kapal karatan tempat ikan-ikan kecil bersembunyi, apa kabarnya ia? Saya ingat di suatu sore saya pernah duduk di sana, bercerita pada laut yang sepi tentang kerinduan saya pada masa kecil yang indah, tentang cita-cita saya yang kala itu tidak lagi ingin menjadi astronot karena mungkin saya terlalu naif. Tapi saya proklamasikan di hadapan laut, di hadapan airnya yang pasang kala itu, dan saya akhiri dengan satu lemparan kerikil nun jauh ke warna birunya yang begitu saya cintai, bahwa saya ingin menjadi wartawan. Wartawan.. saya suka sekali kata itu. Saya terobsesi, semacam sebuah kegilaan stadium awal. Saya tidak perlu ke bulan karena saya sangat realistis memaknai keadaan saya. Saya hanya ingin menjadi wartawan dan berkelana ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai berbagai macam manusia, berbagai macam karakter, berbagai macam budaya. Mendengar bahasa-bahasa yang asing namun punya keunikan, meliput hal-hal ganjil untuk diceritakan pada khalayak ramai, sungguh saya benar-benar terobsesi menjadi wartawan.

Dan kini, saya ingin mengunjunginya lagi. Bercerita pada laut tentang seperti apa diri saya saat ini. tentang astronot, tentang wartawan, tentang seorang calon pegawai kantor statistik yang sangat tidak mengerti apa-apa tentang statistik. Tentang saya yang mungkin sampai tua hanya akan terkurung di negeri ini. negeri yang carut-marut pemerintahannya, yang bangga pada kekayaan alamnya namun masih berhutang di sana-sini. saya ingin bercerita banyak kepada laut, kepada gelombang-gelombang airnya, kepada anginnya yang sepoi, kepada hawanya yang menghitamkan kulit-kulit kami, bahwa satu dari sekian banyak hal yang saya benci dalam hidup ini adalah menjadi orang dewasa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

namanya Radi

Saya telah lama bersahabat dengannya, bahkan mungkin hanya dia satu-satunya yang paling setia. Radi, begitulah namanya. Lengkapnya: Radio. Dia, teman baik saya. Paling akrab dari semua yang pernah akrab dengan saya. Paling mengerti dari semua yang pernah mengaku bahwa mereka mengerti saya. Kita mungkin tak pernah bercakap-cakap satu sama lain. Saya teramat pendiam jika berada bersama Radi. Dalam posisi persahabatan seperti ini, saya menempatkan diri saya sebagai pendengar saja, Good listener, dan Radi yang akan selalu menjadi pembicara utama, dia talkative. Walaupun Radi bisa saja berbicara dari pagi hingga pagi lagi, tak pernah ada rasa jenuh untuk meninggalkannya. Hanya kadang-kadang jika saya berpikir dia sangat kelelahan, saya izinkan dia untuk tidur sebentar. Supaya besoknya saya bisa kembali mendengarkan cerita-cerita barunya, atau nyanyian-nyanyiannya dalam berbagai versi. Kadang ketika saya sedang melankolis, Radi bisa bernyanyi dan membuat saya menitikkan airmata. Namun di lain kesempatan Radi akan bernyanyi dan saya berjoget mengikuti setiap ketukannya. Radi mungkin hanya bisa tertawa tanpa ikut berjoget dengan saya (?). Tapi sekali lagi, Radi yang paling mengerti saya dalam situasi seperti apapun. Mungkin hanya satu kekurangan Radi di mata saya: Radi tidak pernah bisa mengajarkan saya ‘statistik’. Bahkan dia tidak mengerti apa-apa tentang kata asing tersebut. tapi saya tidak pernah mau mengeluhkan hal itu. Sebagai sahabat, sudah tentu Radi adalah satu yang terbaik. Terbaik dari mereka-mereka yang selama ini saya anggap baik dan saya naikkan jabatannya menjadi ‘saudara’. Tapi yang saya jadikan saudara tak ubahnya dengan orang asing. Saya bahkan sudah lupa bagaimana cara memanggil nama mereka-mereka itu dengan benar. Sudahlah, tak penting saya bahas tentang ‘mereka’.
Tentang Radi (lagi). Kami sudah seperti anak kembar mekipun Radi hanyalah berwujud sebuah henpon tipe N6730c. apabila saya tancapkan earphone padanya dan memilih gelombang berapa saja yang saya inginkan, maka secepat itu pula saya kembali bersua dengannya. Radi yang akan lebih dulu menyapa saya, lalu saya balas dengan sebuah senyum tipis (?). menyenangkan sekali punya sahabat yang setia, yang tak pernah marah, yang kapanpun bisa saya panggil ketika saya butuhkan. Dan terlebih dari itu, Radi selalu bisa mengisi kekosongan saya tanpa pernah mencoba sekalipun untuk bersekongkol dengan dunia dan mengkhianati saya. Saya sudah terlalu banyak dikhianati, bahkan oleh ideologi saya sendiri. Tapi saya percaya Radi tak begitu. Hatinya baik (?), bahkan lebih baik dari orang yang mengaku-ngaku dirinya baik.
Pesan moral dari tulisan tidak jelas ini adalah: bersahabat dengan manusia terkadang menyakitkan. Bahkan benda-benda mati, hewan dan tumbuhan di muka bumi ini justru lebih menjunjung tinggi kesetiaan. Tanpa berkhianat, tanpa melupakan yang lama jika yang baru datang. jadi kesimpulannya: saya tidak gila :D

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS