RSS

benarkah namamu Rudi?

Benarkah namamu Rudi? Oke, saya cukup menyebutmu Rudi saja bukan? Ah, Rudi.. kata-katamu menggelitik sudut-sudut otak saya, membuat saya ummm *bagaimana saya harus mengatakannya?* sedikit haru (saya akui) membayangkan seorang bocah sepertimu masih mampu berbicara soal mimpi, soal masa depan.

Keseharianmu adalah di jalanan bukan? Iya, Rudi, tak perlu kau menjawabnya karena itu hanyalah sebuah kalimat retorika. Usiamu bolehlah baru setengah dari usia saya, tapi tak perlu ada yang meyakinkan saya bahwa hidup telah mengajarimu lebih banyak dari yang sudah hidup ajarkan kepada saya. Saya tahu sekali itu.

Maka hidupmu dan peralatan semirmu adalah dua hal yang ironis bagi saya. Kenapa? Karena kau tahu, Rudi? Di provinsi saya, di kota kelahiran saya itu, tak pernah saya temui satupun anak sepertimu. Menyemir sepatu, mengamen, mengasong, itu hal yang ganjil bagi penduduk kami. Semua anak bersekolah, menghabiskan sore dengan bersepeda atau berenang di pantai. Mereka bermain petak umpet, sepak bola, sebagian yang lain sibuk dengan playstation-nya. Dapatkah kau bayangkan, Rudi? Seharusnya kau marah pada mereka yang berjas safari itu! Mengapa mereka tak memeliharamu dengan baik?

Rudi, kau tahu? Wajahmu terlalu lucu untuk mencicipi kerasnya hidup di jalanan, menyaksikan kejadian ‘horor’ di stasiun, dipalak preman, melihat orang yang menodongkan senjata tajam ke orang lain. Jika saja saya bisa membaca pikiran kanak-kanakmu, saya ingin tahu seperti apa kau memaknai hidupmu. Benarkah hatimu telah lama memilih untuk berdamai dengan keadaan? Bagaimana bisa kau belajar melakukan apa yang selama bertahun-tahun tak pernah bisa saya lakukan? Ah, Rudi.. wajah polosmu bercerita banyak hal bahwa kehidupan sama sekali tak berpihak padamu. Kau, kotak semir sepatumu, dan kemiskinan adalah sahabat karib, sudah seperti saudara sekandung yang kau bawa sejak lahir. Tapi kenapa bisa-bisanya kau tak sedikitpun mengeluhkannya?

Saya kagum padamu, Rudi. Tak perlu kau mengerutkan dahi karena kau memang patut dikagumi. Saya belajar sesuatu darimu tentang kesederhanaan, tentang cita-cita yang harus selalu dijadikan bekal untuk setiap perjalanan, tak peduli sekeras apapun hidup memperlakukanmu. Kau bilang cita-citamu ingin menjadi satpam, supaya bisa bekerja mengenakan sepatu. Ah, Rudi, dada saya sesak mengetahui hal itu. Waktu umur saya sama persis denganmu, cita-cita saya teramat tinggi, sungguh teramat tinggi dan tidak realistis jika saya pikirkan kembali. Saya ingin jadi astronot, Rud. Kau tahu tidak apa itu astronot? Astronot itu orang pintar, Rud. Mereka bisa pergi ke luar angkasa, meneliti benda-benda langit seperti bulan yang setiap malam sering kita pandangi itu. Hebat bukan? Tapi cita-citamu cukup menjadi satpam saja, agar kau bisa bekerja memakai sepatu. Sesederhanakah itu, Rudi?

kalau di jalanan terus, bisa-bisa saya tidak punya masa depan. Siapa yang mengajarimu mengucapkan kalimat secerdas itu? Benarkah itu terlahir dari dalam hatimu? Rudi, kau berhak memperoleh hidup yang lebih baik jika saja mereka yang duduk di kursi empuk itu kelakuannya tidak seperti monyet yang baru pernah melihat pisang.  Rencana pembangunan gedung baru, anggaran pulsa untuk komunikasi, studi banding ke luar negeri, mereka semua tak ada yang benar-benar memikirkanmu, memikirkan nasib kawan-kawanmu. Jadi tak perlulah kau harapkan janji-janji mereka, cukup percaya saja pada peralatan semirmu. Percaya bahwa Tuhan di manapun Dia berada pasti akan mendengarkan doa-doamu. Percaya bahwa kekuatan mimpimu akan membawamu menjadi apa yang kau inginkan. Cukuplah peralatan semirmu, cita-citamu dan juga Tuhanmu yang takkan pernah mengkhianatimu. Kau tinggal mempercayainya saja, Rudi. Seperti saya yang selalu percaya bahwa Tuhan adalah mutlak Maha Adil. Kau juga kan?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment