RSS

Kalosorisma Hyemali

Semalam, sudah larut ketika saya membaca buku Reporter and the City lalu mengkhatamkannya. Menarik menilik kehidupan di balik layar kamera, tentang perjuangan seorang jurnalis demi mendapatkan sekecil apapun informasi untuk disebarkan kepada khalayak ramai. Entah itu bencana alam, perang, penyakit, juga masalah-masalah sosial dan politik lainnya. Saya cuma punya satu kata untuk mereka: KEREN.

Pagi ini saya terbangun dengan perasaan yang sesak. Sesak karena bayang-bayang reporter masih bercokol hebat dalam pikiran saya. Sesak yang pada akhirnya menimbulkan rasa iri. Tuhan, apakah saya boleh iri pada mereka yang tercapai cita-citanya? Mereka yang sejak kecil melantunkan impian-impiannya untuk menjadi reporter, presenter berita, lalu Engkau memeluk mimpi-mimpi mereka dan mengejawantahkannya menjadi suatu bentuk kenyataan yang manis? Tuhan, apa pantas saya iri? Bukankah dulu saya juga punya mimpi yang sama? Saya tak minta banyak kan, Tuhan? Saya hanya minta supaya kelak di masa depan saya akan mendapati diri saya menjadi seorang reporter. Mengunjungi tempat-tempat yang jauh, melaporkan berbagai peristiwa-peristiwa penting. Bukankah itu mulia, Tuhan? Tapi rupanya mimpi saya tak direngkuh oleh-Mu. Apakah karena saya terlalu banyak dosa? Ah, Tuhan.. andai saya bisa menelusuri apa yang Kau rencanakan untuk saya. Tapi Engkau terlalu misterius. Ah, maafkan saya, Tuhan, saya tak pernah bermaksud menyalahkan Engkau yang sebenarnya sudah teramat baik pada saya.

Terkadang di dalam sendiri saya, sebenarnya saya masih kebingungan memaknai diri saya sendiri. Saya siapa? Untuk apa saya terlahir? Saya merasa seperti tidak punya tempat. Maafkan saya, Tuhan.. saya seperti orang yang tidak bersyukur. Saya tahu saya beruntung karena masa depan gilang-gemilang telah menunggu saya di ujung jalan, pekerjaan sebagai seorang PNS telah memanggil-manggil saya. Tapi jujur, tak ada perasaan gembira yang hinggap di hati saya atas semua itu selain karena saya telah mampu memenuhi harapan ibu saya. Itu saja. Iya, saya ingin jadi reporter, dan ibu ingin saya jadi PNS. Sesuatu yang sama sekali bukan passion saya. Tapi saya bisa apa? Tuhan, mohon kiranya Engkau jangan menatap saya saat ini, saya malu karena demi mengetikkan semua ini saja tangis saya harus terburai. Saya malu pada-Mu, Tuhan, karena saya terlalu cengeng.

Tuhan, apakah saya masih pantas untuk punya cita-cita? Karena rasanya segala hal sudah tidak mungkin bagi saya. Saya kuliah statistik, tapi sebenarnya saya tidak benar-benar memahami apa yang kini tengah saya kerjakan. Saya tidak mengerti apa-apa tentang statistik. Tidak ada kontribusi apa-apa yang bisa saya berikan kepada bangsa ini atas bidang keilmuan yang kini saya geluti. Saya merasa tak berguna karena tak bisa memberikan pada Negara apa yang Negara telah berikan pada saya. Melihat diri saya dari sisi manapun, saya hanyalah manusia yang menyedihkan. Tak lebih.

Di usia saya yang kedua puluh ini, saya merasa sudah banyak waktu yang terbuang. Terbuang karena hidup saya sebenarnya telah termakan oleh kesia-siaan. Mimpi-mimpi saya tak lebih dari mimpi kosong. Jauh di dalam hati kecil saya, saya masih ingin menjadi reporter. Tapi mungkin menjadi reporter adalah satu bentuk keegoisan saya. Egois karena saya pasti akan menyakiti hati ibu saya yang menginginkan saya menjadi PNS. Ya, PNS seperti sebuah kutukan dalam keluarga saya. Kode-kode PNS telah mengalir dalam genetik kami, menjelma dalam bentuk rantai-rantai DNA yang kompleks. Maka dulu ketika murid-murid SD ditanyakan perihal cita-cita mereka satu per satu, saya patutnya menjawab bahwa cita-cita saya adalah apa yang ibu cita-citakan terhadap diri saya. Seharusnya seperti itu saja. Cukup begitu. Saya tak boleh memilih!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment