Angin musim timur bulan September. Padanya, aku tinggal
menunggu hujan reda. Lalu sembari menambahkan sesendok gula dalam cangkir
tehku, sesekali kuintip dari balik jendela, berharap pelangi terpahat di sana.
Hingga dengan itu aku dapat tidur lebih lelap dan berdoa agar besok matahari
tak ingkar janji.
Angin musim timur bulan September. Jika saja hujan mau
sedikit berkompromi, aku bisa duduk manis di tepian laut. Menunggui ratusan
peri muncul dari tempat persembunyiannya, mengeluarkan serbuk-serbuk jingga dari
tiap kepakan sayap mereka, menaburkannya dengan riang gembira hingga tercipta
lukisan senja di kaki langit. Indah.. keindahan yang ingin kubagi pada siapa
saja, untuk mereka yang mengutuki hidupnya, untuk mereka yang sibuk mengais
sampah demi seribu-dua ribu, untuk mereka yang kelelahan memikul kotak sol
sepatunya. Ingin kubisikkan lekat-lekat di telinga mereka, hidup ini terlalu
indah..
Angin musim timur bulan september. Jika sedang suntuk, tak
ada yang lebih membahagiakan selain memandangi hujan, mengamati anak-anak yang
berlarian di halaman, berteriak kegirangan, tidak tahu karena alasan apa.
Semakin deras hujan yang turun, semakin keras teriakan mereka. Mereka bahagia,
tak peduli ibu-ibu mereka sedang kerepotan mengurusi jemuran. Anak-anak tak
pernah kesulitan mendefinisikan kebahagiaan. Adalah hujan, salah satu bentuk
kebahagiaan yang Tuhan turunkan untuk mereka yang berhati putih, untuk mereka
yang tak pernah berpura-pura kuat ketika sedang sakit, untuk mereka yang tak
pernah berpura-pura tegar ketika sedang bersedih. Mereka itulah anak-anak.
Hanya ada dua ekspresi yang mereka punya. Tertawa jika bahagia, atau menangis
jika sedih. Dan lagi-lagi, aku harus didera perasaan iri.
Hmm.. angin musim timur bulan september. Di sini sinar
matahari tak pernah punya tempat. Dan kalaupun ia muncul, ia seperti kehilangan
jati dirinya. Ia bukan lagi sosok yang arogan, garang, masa bodoh, tapi kini ia
berubah jadi pemalu. Sungguh sepadan dengan mereka yang tengah dimabuk cinta.
Tapi tak mengapa! Mungkin bulan september adalah bulannya matahari untuk ambil
cuti. Jadi tak perlulah berkeluh-kesah, waktunya bagi kita untuk menarik
selimut tebal, membungkus malam, membungkus penat, melupakan cerita sedih hari
kemarin.
Angin musim timur bulan september. Tuhan seperti sengaja
mendatangkannya untukku. Untukku yang didera rindu akan kampung halaman, pada
sanak keluarga, pada lambaian nyiur yang berdiri rapi disetiap mata memandang,
pada udara segar yang memenuhi paru-paru, pada jernih dan birunya lautku, pada
sungai-sungai yang airnya digunakan untuk minum, mandi dan mencuci, pada
megahnya gunung yang terlihat jelas dari tepi laut, pada cantiknya laut yang
terlihat jelas dari atas gunung, pada ambonku, pada tumpah darah beta.
Terimakasih Tuhan, telah menyempatkanku untuk bersua kembali
dengannya, negeri kecil yang menyimpan banyak cerita pilu tentang orang-orang
pedalaman yang belum tersentuh peradaban, negeri kecil tempatku tumbuh dan
merasakan cinta dari orang-orang yang mencintaiku. Negeri tempatku merangkak
dari titik nol, negeri yang kutinggalkan dengan linangan tangis untuk menempuh
setengah dari perjalanan mengenal diriku sendiri. Sungguh, aku masih sangat
rindu. Semoga masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi.
Angin musim timur bulan september, darinya aku belajar banyak
tentang hidup. Bahwa hujan, pelangi, matahari, senja, dingin, sepi,
awan-gemawan, bintang-gemintang, dedaunan yang gugur kemudian tertiup angin,
rasa haru dan rindu, kesemuanya adalah satu paket kontemplasi yang
mengharuskanku untuk tunduk pada kekuasaan Dzat yang darinya segala kehidupan
berasal. Kini aku lebih dari mengerti bahwa meskipun hidup seringkali angkuh,
tapi keanggunannya selalu menjadi candu. Dan aku mabuk, aku tergila-gila. Ya, ya,
Tuhan selalu punya cara untuk membuatku bersyukur. Karenanya aku ingin hidup
lebih lama..
Bolehkah kita berjumpa kembali di tahun-tahun mendatang,
Oh Angin musim timur bulan September..?