RSS

Callysta Elvareka


Fatmawati. Saya ingin sekali melupakan nama itu. tak peduli apa arti dibalik rangkaian huruf-huruf tersebut, tak peduli  jika dahulu ada seorang wanita dengan nama serupa yang telah menyumbangkan jasanya untuk menjahitkan bendera kemerdekaan negeri ini. saya tak peduli. bukankah Callysta Elvareka terdengar seribu kali lebih indah daripada Fatmawati? Ah, saya benci nama itu!

Malam itu terbungkus mendung, saya duduk di sebuah kafe, berhadapan dengan kakak, memesan dua cangkir coklat panas untuk menghangatkan hati kami yang dingin, hati saya terutama, karena malam itu menjadi awal mula saya membenci sebuah nama. Fatmawati. Sebuah nama yang dengan sangat bodoh hendak disematkan pada saya ketika kelahiran saya dulu, dua puluh tahun silam.

Ingin sekali rasanya saya tertawa terbahak-bahak lalu menuduh kakak telah membohongi saya bulat-bulat. Ingin sekali rasanya saya untuk tidak mempercayai satupun yang kakak ucapkan waktu itu. ingin sekali. Tapi saya tahu kakak sedang tidak bergurau. Dan detik itu saya berusaha menekan kuat-kuat perasaan kalut yang menggerogoti dada saya, sungguh menyesakkan, membuat semua kebanggaan dalam diri saya terkikis pelan-pelan, nyaris tak bersisa. Untuk sosok yang selama ini saya sebut ia sebagai ‘ayah’. Bagaimana mungkin?

Ayah yang baik, yang sering membelikan coklat warna-warni. Ayah yang tegas, yang selalu membuat kami belajar untuk selalu disiplin dan tepat waktu. Ayah yang perhatian, selalu memperhatikan prestasi kami di sekolah. Bagaimana bisa saya mempercayai bahwa ayah hendak memberikan nama Fatmawati pada anak bungsunya? Nama seorang perempuan yang diam-diam hadir di belakang ibu, perempuan yang saya tahu persis telah menyayat hati ibu, menggoreskan luka yang tak akan pernah sembuh meski puluhan tahun telah berlalu. Saya benci untuk mengetahui semua itu. tidak cukupkah kesetiaan ibu yang telah memberikan ayah enam orang anak? Tidak cukupkah kehadiran ibu yang telah memberikan segala hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk membahagiakan ayah? Saya ingin sekali percaya bahwa cerita ini hanyalah mimpi, dan begitu saya terbangun, segalanya akan kembali normal. Tidak ada cerita tentang seorang perempuan bernama fatmawati, tidak ada cerita tentang ayah yang berselingkuh, dan terlebih, tidak ada cerita tentang ibu, tentang airmata ibu, tentang luka hati yang ibu tanggung dan usaha ibu untuk menutup rapat-rapat cerita ini.

Kakak yang waktu itu masih kanak-kanak ingat betul. Ibu yang menemukan bukti pengiriman sejumlah uang  ke rekening perempuan bernama fatmawati. Ibu yang mengurung diri di kamar. Ayah yang mendobrak pintu kamar. Ibu yang menangis diam-diam. Ibu yang tak ingin ada satupun dari anaknya mengetahui ada airmata yang pernah ia tumpahkan. Semua yang kakak ceritakan, semua gambaran itu menari-nari di pikiran saya. tiba-tiba saya menjadi begitu membenci ayah, membenci laki-laki tua itu, laki-laki yang selama dua puluh tahun ini saya banggakan, laki-laki yang saya sayangi dan selalu saya sebut namanya mendampingi nama ibu dalam tiap sujud-sujud panjang saya.

Jika ibu tidak memilih untuk bertahan, jika ibu tidak memilih untuk memaafkan, jika seandainya saat itu terjadi perceraian, mungkin saya tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menanti seorang ayah yang pulang shalat jumat, hanya untuk mencium tangannya, hanya untuk mencari bau surga di sana. Jika saja waktu itu ibu tidak memilih untuk tetap setia pada ayah, mungkin saya tak akan pernah tahu bagaimana perasaan senang ketika ayah mengambil raport saya di sekolah dan memboncengkan saya pulang naek sepeda motor tuanya.

Ah, ibu.. terimakasih karena kesetiaan ibu lah yang kini membuat ayah menjadi setia. Terimakasih karena secara tidak langsung ibu telah mengajarkan pada kami  bagaimana cara bertahan terhadap pasangan. Terimakasih karena ibu memiliki hati yang begitu putih, memiliki jiwa yang kuat, memiliki kesabaran yang tiada batas, untuk memilih memaafkan dan melupakan semua cerita pilu bertahun silam karena keegoisan ayah. Ada surga dari Tuhan khusus buat ibu. Saya percaya itu.

Sebagaimana ibu yang memilih untuk memaafkan, saya pun akan mencoba demikian. Memaafkan ayah. Saya akan berusaha. Perlahan. Meski berat. Ayah tetap orangtua saya, yang harus saya hormati, yang harus saya jaga nama baiknya.

 Ah, terkadang saya masih tetap ingin percaya, bahwa cerita ini hanyalah dongeng. Bahwa mungkin saya bermimpi, atau kakak yang bermimpi. Dan bahwa saya tidak akan pernah bertemu siapapun bernama fatmawati dalam hidup saya.
Semoga saja.

#untuk seseorang yang sangat ingin melupakan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment