RSS

dulcis domus home

Saya pernah bergelayut manja pada ranting-ranting pohon guava di halaman depan. Atau berayun bersama kakak di ayunan yang papa ikatkan kuat-kuat di pohon mangga. Langit-langit ruang makannya merekam lekat-lekat suara bahagia keluarga yang tengah menanti adzan magrib untuk berbuka puasa. Di ruang tamunya, menjadi tempat paling menyenangkan untuk belajar membaca Iqra bersama papa selepas magrib. Atau memandangi beliau yang dengan sangat lincah menyampulkan buku-buku tulis kami, meraut pensil-pensil saya agar tetap tajam, mengajari saya cara menggambar gunung dan pohon kelapa lalu mewarnainya dengan pensil warna bermerek luna. Di ruang tamu itu ada sofa berwarna coklat, tempat kami para bocah sering bermain, duduk-duduk dan bertukar cerita.

Dinding-dindingnya menyimpan banyak cerita bahagia, juga menyimpan isak tangis dari para penghuninya. Di sana saya pertama kali belajar menuliskan nama saya sendiri, belajar mengayuh sepeda, belajar memasak dan menyetrika, belajar memakai pembalut di hari pertama menstruasi, belajar menjadi dewasa dan mengenal diri saya sendiri. Banyak kenangan yang tidak dapat saya ingat semuanya satu persatu, tapi di lantai semen itu, di tempat saya sering berbaring sambil menonton serial kartun favorit saya, terpahat dengan jelas semua jejak masa lalu yang pernah saya tinggalkan, yang pernah kami sekeluarga tinggalkan. Rumah itu bukan sekedar tempat berlindung, tempat berkumpul sepulang dari menempuh perjalanan, tapi terlebih dari itu, ia adalah simbol bagi sebuah keluarga. Ia adalah perlambangan rasa damai, ketenangan, kebahagiaan, kebanggaan yang tak pernah surut dari kami terhadap kedua orang tua kami, dan dari kedua orang tua kami terhadap kami, anak-anak mereka. Ia adalah wadah kasih sayang, tempat dimana kami menemukan sebanyak-banyaknya cinta, dan dengan cinta yang berlimpah ruah itu kami ingin membagikannya kepada siapa saja yang membutuhkan.

Di dapur yang gelap dan bercat seadanya, di situlah ruang kerja abadi mama. Kami, laki-laki ataupun perempuan, termasuk juga papa, sering bahu-membahu mengerjakan kue-kue pesanan yang diterima mama. Sejak saya masih gagap menghafal perkalian, tangan saya sudah lincah membuat pastel, membuat hiasan kue tart, memegang mixer, menggulung risol ataupun panakuk. Perkakas-perkakas pembuat kue yang tersimpan di dalam lemari kayu tua di sudut dapur itu jelaslah menjadi saksi bisu, bagaimana setiap tindak-tanduk mama hanyalah untuk membuat kami menjadi pribadi yang mandiri, kuat, tidak gampang menyerah. Betapa setiap adonan kue yang dicampur dengan tangan keriputnya itu adalah luapan rasa sayangnya yang tak terbendung kepada keluarganya, kepada kami yang selalu ingin menjadi pahlawan baginya.

Keluar dari dapur, ada sumur tempat saya dan kakak sering mandi bersama dan bersembunyi di dalam dua buah tong air berwarna biru yang tingginya persis seperti tinggi badan saya sewaktu itu. Airnya hangat. Saya jadi mencintai kegiatan mandi di sumur ini, hingga nantinya saya besar dan tersadar,  mandi telanjang di depan orang yang berlalu-lalang adalah perbuatan paling hina yang pernah saya lakukan. Terlepas dari itu semua, sumur itu merekam proses tumbuh kembang saya, mencatat setiap peristiwa bahagia, sedih, marah, kecewa, haru, bangga, susah dan senang yang bergulir setiap harinya dalam hidup saya.

Rumah tua di dekat jalan raya itu, terlalu banyak yang saya lalui di sana. Kenangan-kenangan akan masa kecil yang indah, kenangan-kenangan saat saya mulai beranjak remaja, tempat saya merasa menjadi orang paling berarti bagi keluarga, bagi para sahabat.




Hampir lima tahun telah berlalu dari saat-saat api memporak-porandakannya pada pukul dua dini hari di bulan maret. Hadiah paling buruk bagi kami berlima yang berulang tahun di bulan itu. sekejap saja, seperti dibawa angin entah kemana, lalu tanpa pernah kami tahu siapa yang harus menyalahkan siapa. Kenangan.. akan selamanya bernama kenangan.. sekalipun harus ada isak tangis kehilangan akan benda yang paling kami cintai: rumah. Tapi toh Tuhan pasti memberikan yang terbaik jua.. akan selalu ada hikmah, tergantung secepat apa kami memetiknya..

Kini, melewati depan jalan raya itu. sengaja menengok ke arah kiri. Seperti ada sedikit rasa perih yang menggores hati. Di sana hanya ada  rumput ilalang yang menjuntai tinggi menutupi sisa-sisa reruntuhan rumah masa kecil kami. Dan rasa perih yang menggerogoti hati itu menjelma menjadi suatu keinginan yang kuat: saya ingin memberikan rumah untuk mama dan papa. Rumah sederhana yang menyimpan banyak cinta dan kenangan. Seperti rumah kita dahulu..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment