RSS

Metromini

Ada romantika tersendiri ketika minggu lalu, hampir setiap hari saya bolak-balik ke rumah tante menebeng metromini 46 dari kampung melayu menuju utan kayu. Di dalam kendaraan berbentuk persegi panjang yang didominasi warna jeruk itu, sedikit banyak saya bermetamorfosis menjadi seorang melankolik, sebuah sisi paling absurd yang dimiliki oleh diri saya yang sebenarnya lebih sering tampil sebagai perempuan HERI, heboh sendiri!! Bagaimana tidak, metromini menawarkan pelajaran hidup sederhana yang membuat saya gamang. Ini tentang pengamen, kawan. Tentang makhluk-makhluk dekil yang lincah melompat dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya untuk membagikan apa yang mahasiswa IKJ sebut sebagai seni, yang kata mahasiswa ekonomi lebih pantas disebut sebagai korban kapitalisme, yang mungkin disebut oleh mahasiswa FISIP sebagai perbedaan strata sosial, yang sering menjadi bahan celaan mertua kaya raya apabila anaknya jatuh hati pada sesosok pengamen, sesosok kaum marginal, tentulah ini umumnya terjadi di sinetron-sinetron murahan. Oh tidak! Tentu saya bukan pecinta sinetron. Tapi semua tau kualitas cerita sinetron di stasiun televisi negeri ini bukan? monoton! Semua sudah tau kan? Tau? Ah sudahlah! Kenapa pula jadi membicarakan soal sinetron? Kembali lagi soal pengamen, soal musisi jalanan, soal pelajaran hidup apa yang saya petik dari keseharian mereka, maka saya sangat ingin mengupasnya melalui kacamata filsafat (biar terlihat keren), tapi ilmu saya belum sampai ke sana. Karena itu biarlah saya bercerita sebagai diri saya saja (?) dengan pengetahuan saya yang memang hanya secuil ini..

Aih, saya merasa intro dari tulisan ini terlalu berbelit-belit. Ibarat dari Senen menuju Melayu yang bisa ditempuh melewati Salemba, saya malah berputar-putar ke arah monas dulu. Sangat repot sekali. Dan menyebalkan (mungkin). Tapi otak saya memang sangat kompleks seperti benang yang berpilin-pilin. Pikiran saya terlalu sering meloncat dari satu scene ke scene lainnya, tidak terkontrol. Maka tolong ajari saya mengendalikan pikiran ini. oh tidaaaakk!!

Saya akui sangat jarang saya bepergian dengan menumpang kendaraan umum seperti angkot, metromini dan kopaja. Saya lebih prefer pada kendaraan seperti taksi dan bus transjakarta dengan alasan norak bahwa di dua kendaraan itu menyediakan AC sehingga ketek saya tetap kering sepanjang hari. Oke,, tapi entah kenapa saya mulai jatuh cinta pada metromini. Bukan karena saya menyukai warna oranyenya yang ngejreng, tapi karena di sana ada pengamen. Salah satu sumber hiburan saya, salah satu kegiatan memperhatikan tingkah laku mereka yang membuat saya selalu berpikir dan berpikir untuk melatih otak agar terhindar dari bahaya alzhaimer. Ya, ini lebay! Saya suka pada pengamen. Sebagian dari mereka sangat sopan, sebagian dari mereka selalu mengucapkan salam, mereka mengucap terimakasih –entah dengan perasaan dongkol ataupun tidak- sekalipun tidak ada recehan yang dimasukkan ke dalam kantong-kantong yang mereka sodorkan. Kadang suara mereka melengking indah, membuat hati saya sesekali berdesir. Namun tidak jarang pula ada yang bernyanyi seperti orang kumur-kumur. Tapi terlepas dari itu, saya melihat mereka begitu menikmati apa yang mereka kerjakan. Jiwa mereka adalah dari gitar-gitar tua itu, dari ukulele jelek yang dipetik oleh jari-jari penuh kuman itu, dari gendang seadanya yang mereka tabuh lalu menghasilkan harmonisasi indah yang acapkali membuat saya terkagum-kagum.. ah, pengamen itu adalah pribadi-pribadi yang sangat kreatif. Mereka dapat membuat apa saja menjadi alat musik, sebagian dari mereka tetap bernyanyi dengan penuh penghayatan, tak peduli jika metromini mengerem tiba-tiba, tak peduli bagaimana suasana hati mereka, tak peduli apakah recehan-recehan itu bisa digunakan untuk makan teratur sehari tiga kali, tak peduli jika bisa saja uang-uang itu akhirnya habis juga dilahap oleh para preman. Atau selepas mengamen nanti, uang-uang itu haruslah disetorkan lagi kepada big boss, orang-orang yang membawahi komunitas pengamen (mungkin). Mereka bekerja tanpa keluhan dijerang sinar matahari, dihantam dinginnya hujan. Mereka kuat, mereka bekerja keras, mereka bahkan tidak pernah menyalahkan takdir. Padahal di belahan bumi yang lain, saya menemukan diri saya yang sangat tidak bersyukur, yang sering mempertanyakan mengapa ini dan itu harus terjadi, yang selalu saja menggerutu pada tiap kesulitan yang saya temui, yang masih belum bisa belajar mencintai pekerjaan yang telah dijanjikan kepada saya, yang selalu mengerjakan tugas dengan asal-asalan, yang selalu malas-malasan dalam menulis skripsi. Saya menyedihkan! Jarang sekali bersyukur. Selalu merasa kurang. Selalu bersungut-sungut. Apakah Tuhan masih kurang Pemurah? Saya malu, malu kepada para pengamen itu, malu kepada diri saya sendiri.

Tidak banyak kata-kata yang bisa saya tuangkan ke dalam tulisan tak jelas ini. Saya hanya ingin menandakannya agar saya tak lupa untuk selalu bersyukur, bersyukur yang bukan hanya melalui lisan, tapi bersyukur yang benar-benar dari hati.. Semoga Tuhan selalu menuntun saya menjadi pribadi yang sederhana, yang rendah hati, yang peduli pada sesama..

Aamiin.. aamiin.. allahumma aamiin..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment