Dia menyampirkan ransel besarku di bahunya. Menggamit tanganku
lekat-lekat seperti tak ingin aku kembali ke Jakarta. Ini semua memang terlalu
singkat, terlalu cepat. Waktu seperti tak pernah cukup untuk kita habiskan bersama.
Dan decitan suara kereta yang beradu dengan rel-rel karatan makin lama makin
jelas terdengar.Dia memelukku dan tubuhku mendadak kaku. Wangi parfum menyeruak
dari tubuhnya. Dan aku tak pernah digeluti debaran seperti ini, debaran aneh di
rongga dada yang menyerap habis seluruh darah dan energi. Aku merasakan
perasaan yang ganjil, yang tidak kupahami, seperti berat untuk berpisah,
seperti perasaan sayang berlebihan yang belum pernah hadir sebelumnya dan sulit
untuk kujelaskan.
Dalam ruang-ruang memoriku, tergambar kaki-kaki kecil yang
mengayuh lincah pedal sepeda, terngiang tawa-tawa renyah bersama tumpukan komik
yang berhamburan di meja, teringat akan tugas-tugas sekolah yang selalu kita
selesaikan diselingi canda dan cerita kelakar. Aku mendadak merasakan bagaimana
pedihnya memendam rasa cinta dalam sebuah hubungan yang dilabeli persahabatan,
rasa cinta yang tak pernah hilang meski dia paksakan, tujuh tahun lamanya.
Di stasiun Lempuyangan petang itu sebagian hatiku
menginginkan agar aku tak kembali pulang. Aku ingin waktu berhenti, atau kereta
terlambat datang, atau kereta tak usah datang sama sekali. Aku hanya ingin
lebih lama dalam peluknya.
0 comments:
Post a Comment