Menjadi statistisi bukan panggilan jiwa saya. saya sadar
itu. sudah 4 tahun saya hidup dengan membohongi diri sendiri. Dan rasanya ini
sangat tidak mengenakkan. Beruntung bagi saya untuk kuliah di tempat ini, di
kampus prestisius dengan biaya nol rupiah, dengan tunjangan uang saku setiap
bulannya. Tidaklah terlalu buruk bagi seseorang yang ingin meringankan beban
kedua orangtuanya.
Tapi kembali lagi kepada passion,
kepada minat saya, kecintaan saya, jujur semua ini tidak membuat saya bahagia. tidak
bersyukurkah? Setiap orang berhak men-judge
saya begini dan begitu. Tapi di singkatnya hidup ini, saya ingin mengejar apa
yang memang benar-benar saya cintai, sebuah dunia yang sering saya bangun dalam
imajinasi, yang membuat saya selalu bersemangat, hingga kelak ketika nanti saya
mati, tidak ada lagi hal yang perlu saya sesali.
Cerita ini memang terlalu melankolis bagi seseorang yang
berjiwa HERI -heboh sendiri- seperti saya. orang-orang mengenal saya sebagai
pribadi yang periang, yang tidak bisa diam, bahkan hyperaktif kadang-kadang. Tapi
siapa yang mengenal sisi paling naif dari diri saya? saya bisa rapuh kok. Bahkan
untuk hal-hal kecil yang menyentil hati saya, saya bisa juga menangis.
Maka selepas sidang skripsi tadi, setelah saya ditanya
bermacam-macam hal yang membuat saya kebanyakan nyengir karena tidak bisa
menjawab pertanyaan dari dosen penguji, saya sampai pada suatu perasaan sakit yang
belum pernah separah ini saya rasakan. Mendengar kalimat yang meluncur dari
mulut dosen “sudah empat tahun kamu
kuliah di sini, tapi otak kamu nangkepnya apa aja? Hal-hal dasar seperti ini
saja tidak kamu kuasai”, seperti menampar saya. perih sekali, padahal saya
telah berjuang dengan berdarah-darah hanya untuk sekedar bisa survive di kampus
ini, di kampus yang gemar men-DO-kan mahasiswa ini.
Tidak ada yang saya salahkan, tidak juga diri sendiri. Untuk
apa? Saya telah jauh berjalan, saya telah melewati fase-fase menyebalkan ketika
teman-teman saya tersenyum dengan nilai-nilai A- atau bahkan A bulat, dan hanya
saya yang sibuk membesar-besarkan hati saya untuk tetap bersyukur dengan nilai
sekenanya: C. Empat tahun saya berusaha untuk tidak mengasihani diri, untuk
tetap riang gembira berangkat ke kampus dan pulang membawa setumpuk tugas yang
tidak saya pahami lalu terseok-seok berusaha mengerjakannya. Saya berusaha
untuk meyakinkan diri saya bahwa saya tidak bodoh. Tetapi karena setiap orang
punya takarannya sendiri-sendiri. Dan statistik bukanlah porsi saya. saya lemah
di situ. Saya tidak tanggap dalam berhitung, kurang jeli menurunkan
rumus-rumus, lamban dalam memahami filosofi-filosofi statistik dasar. Itu saja.
Saya telah mencoba, tapi kapasitas saya memang hanya seperti itu. tak bisa lagi
dipaksakan. Namun bukankah setiap orang punya momentumnya sendiri-sendiri? Setiap
manusia terlahir cerdas, saya selalu percaya itu. cerdas dengan takarannya
masing-masing. Aktor yang pandai berakting, musisi yang mahir membuat lagu dan
memainkan alat musik, atlet angkat besi kelas dunia, setiap orang punya
kelebihan di suatu bidang, lalu lemah di bidang yang lain. Lantas kenapa harus
disamaratakan oleh sistem?
Saya lemah di bidang matematis, tapi saya bisa lebih baik di
bidang-bidang lainnya. Hanya saja saya sedang tersesat di dunia perstatistikan,
itulah yang membuat saya selalu terlihat bodoh. Maka kini, sesegera mungkin
saya ingin mengakhiri kepura-puraan dengan hidup membohongi diri sendiri.
Mungkin orang bilang saya naif jika ingin melepas kesempatan
menjadi PNS yang sangat diimpi-impikan banyak pengangguran di luar sana. Tapi saya
ingin hidup menjadi diri saya sendiri. Saya tidak mencari kelimpahan finansial
meskipun saya akui setiap manusia membutuhkannya. Saya ingin menjalani hidup
saya dengan penuh rasa cinta, dengan bahagia tanpa tuntutan ini-itu, sesuatu
yang saya lakukan karena hal itu benar-benar murni panggilan jiwa saya.
Maka dari tulisan tak jelas ini, saya bersyukur telah
melewati titik-titik kritis masa-masa perkuliahan yang menyita begitu banyak
tenaga dan menguras airmata. Saya cengeng? Iya! Tapi saya terlalu sering merasa
payah. Karena itu semua perasaan payah yang sering menggelayut di hati saya
konversikan menjadi kristal-kristal air mata. Hahaha.. meski saya selalu
berpura-pura kuat. Dasar orang dewasa! Dan kelak, saya ingin sekali berhenti
dari PNS, mencabut emblem statistisi yang melekat di kerah baju, berpetualang
ke tempat-tempat jauh yang saya inginkan, mendirikan sekolah-sekolah gratis,
menulis banyak buku, membangun banyak perpustakaan di daerah-daerah terpencil,
membeli teropong bintang raksasa dan mendirikan observatorium di kampung
halaman saya. karena itu saya sepertinya harus mencari calon suami yang kaya
raya.
Kesimpulannya: saya gila.
0 comments:
Post a Comment