RSS

Geliefde Vader

Alkisah, papa saya, seperti orangtua kebanyakan. Lahir di tahun 40, jaman Indonesia masih belum merdeka. Di usianya yang sudah senja ini, 72 tahun tepatnya, papa masihlah laki-laki tegap. Cenderung sehat dan terlihat lebih muda 10 tahun dari usianya yang sebenarnya. Badannya yang tinggi kurus, diwariskan sepenuhnya kepada saya.

Sampai kapanpun, papa selalu menjadi orangtua kebanggaan. Datang dan pulang mengambil rapor saya dengan caranya yang paling hening. Rasa cintanya ia tunjukkan dengan menyetrika baju-baju seragam saya tanpa banyak bicara. Membuat pisang goreng atau roti bakar untuk saya, mengeringkan rambut saya sehabis keramas, menjahit kancing baju saya yang copot atau mengecilkan baju saya yang kebesaran. Papa yang membuat rumus-rumus matematika atau bentuk-bentuk irregular verbs yang ditempelkan ke dinding untuk saya hafalkan. Atau papa yang menjadi galak ketika saya mengucapkan kata-kata bahasa Inggris dengan pronounce yang salah.

Papa, ayah paling luar biasa, sebuah keindahan yang pernah terjadi dalam hidup saya. dia adalah koki, penjahit, guru mengaji, guru bahasa inggris, guru kesenian yang pertama kali mengajarkan saya memencet senar-senar pada gitar, mendampingi saya menggambar gunung dan matahari. Papa membuat rak buku dengan tangannya sendiri khusus untuk saya. mengecat dinding kamar saya, membuatkan saya teh atau susu di sore hari. Papa yang memberikan saya nama “Elvira”, nama yang sangat saya sukai. Elvira yang berarti peri.. Jujur, kadang-kadang saya memang ingin sekali menjadi peri.

Papa dan kulitnya yang telah mengeriput, dengan sorot matanya yang tidak lagi sejernih dahulu, dengan segala kebutaannya soal teknologi, membuat saya selalu tersedu-sedan begitu mencium tangannya. Pernah beberapa waktu lalu saya tidur dan bermimpi bahwa Tuhan telah memanggil papa. saya menangis di dalam mimpi, dan tetap masih menangis begitu saya terbangun dari tidur. Saya menanyakan kabarnya lewat sms, dan dibalas olehnya: “papa bae-bae saja. Barangkali papa dalam sembahyang selalu doakan ose”

Dan serta-merta airmata saya semakin deras mengucur. Seumur hidup, itulah kata-kata paling indah yang pernah papa ucapkan pada saya. dan tadi, ketika saya memohon doa agar diberi kelancaran saat ujian dan seminar skripsi, papa mengirimkan sebuah pesan singkat yang membuat saya diliputi haru.

“Papa dan Mama selalu berdoa, siang maupun malam.”

Kalimat itu, kalimat yang terdiri dari 8 kata itu telah mengaduk-aduk perasaan saya. saya  membayangkan laki-laki senja itu mengetikkan sms di ponsel tuanya itu pelan-pelan. Memilih kata demi kata dengan sangat hati-hati. Membuat huruf depan kata “Papa” dan “Mama” haruslah dengan huruf kapital, begitu hukumnya untuk kata ganti orang. Lalu tanda titik yang tidak pernah lupa ia bubuhkan di setiap akhir kalimat. Betapa papa saya yang berusia 72 tahun itu selalu memegang prinsip-prinsip tata bahasa yang baik, sesuatu yang saya sendiri pun sering mengabaikannya.

Airmata saya mengalir deras. Saya rindu, didera rindu untuk segera pulang dan mencium tangannya seperti kebiasaan yang selalu saya lakukan dulu selepas shalat.

Saya mengerti bahwa papa selalu punya caranya sendiri untuk mencintai saya, mencintai kami, ketujuh anak-anaknya. Dan cintanya begitu hangat, sehangat teh yang setiap pagi dan sore hari ia buatkan untuk saya.

Mungkin papa telah lupa akan segala hal yang telah ia berikan kepada saya, tapi di sini, di hati saya, selalu tercatat rapi setiap tindak-tanduk dan kebaikan yang ia beri, dua puluh satu tahun lamanya..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment