Ini, segelas teh dengan aroma
khas yang kau suguhkan. Rasanya masih sama, sama manisnya seperti pertama kali
kau menyambutku di Jogja pada pagi yang berkabut. Sembari menikmati nasi kucing
dan teh panas di angkringan, kita meracau tak jelas tentang politik luar
negeri, tentang pemilihan gubernur, tentang krisis global, tentang perekonomian
China yang kemungkinan akan menjadikan negara itu sebagai the next superpower.
Ya, segelas teh mungkin tidak
berarti apa-apa. Tapi tentu berbeda jika kusandingkan dengan sepiring singkong
goreng. Membakar lidah! Satu-satunya jurusku untuk menahanmu lebih lama duduk
bersisian denganku di beranda. Mendiskusikan apa saja hingga hari gelap.
Tentu kau masih ingat ketika kita
membicarakan sabda Einstein mengenai ruang dan waktu yang tidak absolut. Bahwa
alam semesta tidaklah statis, ia mengembang diakselerasi. Dan kita bergidik
ketakutan dengan pikiran-pikiran aneh yang kita ciptakan sendiri. Kubilang kita
itu terlalu bodoh. Tapi lucu. Sangat lucu. Iya kan?
Emm.. Kapan ada waktu lagi untuk kita
bersua? Jogja dan Jakarta masih satu daratan, tapi entah begitu sulit untuk
sekedar meluangan waktu. Tugas-tugas, pertandingan karate, pacar baru,
persiapan KKN, itu yang kamu sebutkan di telpon. Aku mengerti, meski selalu ada
sesuatu yang mengganjal di hati.
0 comments:
Post a Comment