RSS

horizon

Hujan menyapa subuh tadi. Sisa-sisa embun masih bertengger di dedaunan yang beberapa hari ini menderita dehidrasi. Jakarta sedang menikmati musim penghujan, tapi di sini, di kampung saya, panas membakar ubun-ubun hampir setiap hari. Maka kedatangan hujan tadi subuh membuat hari ini tidak seterik biasanya.

Sore ini, saya lewatkan dengan duduk bersama seorang sahabat di pinggir laut. Membeli dua bungkus pisang gepe dan empat gelas air mineral lalu berkisah tentang hal-hal yang tidak sempat kami bagi beberapa bulan belakangan ini.

Begitu banyak yang ingin saya ceritakan tapi semuanya seperti tercekat di kerongkongan. Maka saya dengarkan saja ceritanya. Tentang ayahnya yang baru saja kecelakaan dan dirawat seminggu penuh di rumah sakit. Tentang diabetes. Tentang kaki yang harus diamputasi. Tentang calon suami. Tentang para sahabat kami yang sebentar lagi akan diwisuda.

Sesekali kami mengambil jeda untuk hanyut dalam pemikiran masing-masing. Saya biarkan dia sibuk dengan makanannya, dan saya sibuk mengamati ikan warna-warni yang lalu-lalang mencari perhatian. Sementara itu di kaki langit, Tuhan tengah melukis senja pelan-pelan. Lengkap dengan arak-arakan awan, seperti hendak meniti jalan pulang ke peraduannya.

Sore yang damai, dengan suasana kampung yang jauh dari riuh kendaraan, dengan rumah-rumah yang sebagian masih berdinding papan, dengan suara girang anak-anak yang bermain bola atau layangan, dengan irama sapu lidi ibu-ibu yang tengah membersihkan halaman, di situlah saya lahir dan bertumbuh. Jauh dari kesan kota, jauh dari modernisasi, tapi itu yang selalu membuat rindu.

Betapa hidup saya adalah kemewahan yang Tuhan beri, betapa setiap detil-detil jagat raya adalah keindahan yang selalu menyentil rasa syukur saya. betapa saya terlalu lancang untuk men-judge Tuhan begini dan begitu.

Pukul delapan belas lewat seperempat, masjid memperdengarkan suara orang mengaji. Kami bergegas mengumpulkan sampah makanan. Lukisan senja hampir selesai, tapi kecantikannya tak bisa menahan kami. Magrib selalu menjadi pertanda untuk menarik diri. Begitulah yang orangtua kami ajarkan. Maka kami kembali berboncengan naik motor, pulang dan bersiap menunaikan shalat magrib.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment