Banyak dari teman-teman kampus
yang sangat meragukan kepiawaian saya dalam memasak. Saya pun tidak begitu
paham apakah muka yang sangar, hobi memakai sneakers serta mulut yang sering
ngocol memiliki korelasi dengan ketidakjagoan seorang wanita dalam perkara
memasak. Barangkali kita butuh seorang peneliti atau paling tidak, seorang
mahasiswa tingkat akhir untuk merumuskan hal ini dalam hipotesis-hipotesis
skripsinya.
Perkara ketidakpercayaan beberapa
teman akan kemampuan memasak saya terjadi saat saya mulai rajin membawa bekal
makan siang ke kantor setiap hari. Memang, bekal itu bukan saya yang memasaknya.
Sebabnya saya punya seorang relawan di kos yang dengan sukacita bangun pukul
empat pagi untuk mengurus segala tetek-bengek mulai dari memasak nasi hingga
menumis sayur dan menggoreng lauk. Sebutlah ia bernama Vera. Dan sayang sekali
meskipun saya sangat lihai dalam memasak, saya tidak se-rela itu untuk bangun
pukul empat pagi hanya demi memasak bekal makan siang. Namun Vera yang baik
hatinya dan mancung hidungnya itu sungguh sangat-sangat pemurah. Saya tinggal
menyetor dua ribu rupiah sahaja, dan sekotak nasi plus sayur dan lauk
menggiurkan tersaji di depan biji mata saya.
Syahdan, atas perkara dimaksud,
saya dicap oleh teman-teman yang juga sesama pembawa bekal makan siang di
kantor -sebutlah mereka bekalers-
sebagai seorang pemalas nan tak tahu memasak. Cih! Padahal andai mereka tahu
begitu banyak resep-resep panganan yang telah saya kreasikan dengan sangat
sakses. Tapi biarlah.. Biarlah keluarga saya saja yang tahu betapa kerennya
saya saat berkutat di dapur. Biarlah.. biarlah hanya nenek saya saja yang
selalu menyantap masakan buatan saya dengan penuh puja-puji yang melambungkan
saya hingga menyundul-nyundul mahligai langit ketujuh. Orang lain usahlah saya
risaukan. Percaya ataupun tidak mereka pada kemampuan memasak saya, saya akan
tetap terus seperti saya adanya.
Ah ya! Di suatu siang yang terik
ketika saya menyapa kawan seruangan saya, dalam urusan ini sebutlah ia bernama
Ucix, saya menanyakan apakah barangkali ia memiliki mixer di kosannya. Heranlah
perempuan berkerudung itu, bola matanya seperti hendak meloncat demi mengetahui
saya ingin meminjam mixer untuk membuat brownies kukus. Heuuu.. Adakah yang
salah jika saya ini memang benar-benar bisa memasak?
Dulu, duluuu sekali ketika saya
punya seorang teman dekat lelaki di SMA, dia sempat mengetes saya apakah saya
benar-benar tahu bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Ya, nasi goreng. Sebuah
makanan paling sontoloyo, paling mudah dibuat bahkan sambil salto dan membaca
koran sekalipun. Tapi begitulah. Tampang saya memang tidak didesain untuk
mendapatkan sebuah pengakuan dari handai taulan yang budiman. Saya tidak
terlihat seperti orang yang bisa memasak. Bahkan untuk memasak mie instan
sekalipun. Namun biarlah, biarlah sendiri bercumbu dengan sepinya malam~
0 comments:
Post a Comment