Entahlah, sore bagi saya tak lagi
semenarik dulu. Menikmati teh hangat atau sepotong kue berlama-lama sembari
mengobrol dari Alif sampai Ya dengan orang-orang terdekat. Sore yang cerah nan ceria
kini terganti. Mungkin karena faktor usia, atau barangkali faktor hidup yang
semakin banyak menuntut ini dan itu.
Kini sore bagi saya adalah
mengejar-ngejar angkot. Jika angkot tak ada, maka dipastikan sore adalah
penantian panjang akan bus yang tak kunjung datang. Begitulah. Sore selalu
berlumur peluh dan kadang-kadang, diselingi caci-maki. Mengeluhkan polusi,
kemacetan, beban kerja, atau perut yang keroncongan. Keluhan memang tak
mengubah apa-apa, tapi seperti ada kepuasan jika mulut bisa merepet sana-sini.
Seperti bunyi knalpot bajaj yang berisik, mengganggu dan –tentu saja- selalu
membakar emosi.
Jika hujan turun di sore hari, maka
saya mengomel lebih dahsyat. Mengeluhkan sepatu yang basah, jalanan yang kian
macet sehingga shalat magrib terlewat di perjalanan, juga mengeluhkan payung
yang sayangnya lupa saya bawa saat itu. Jika cuaca terik, maka saya
bersumpah-serapah pada matahari yang tak tahu apa-apa. Mengutuk-ngutuk jelaga
kendaraan yang merusak paru-paru, atau pula memendam dongkol bila persediaan
tissue dalam tas habis.
Begitulah sore saya belakangan
ini. Paling tidak, lima hari dalam sepekan saya sangat gencar menabung dosa. Terutama
di waktu sore. Dosa akan mulut dan hati yang tak pernah bersyukur. Dosa akan
umpatan-umpatan tak berguna yang selalu menguasai diri jika segala sesuatunya unpredictable, tak tertebak.
Saya lupa. Lupa pada satu hal
bahwa mungkin inilah saat-saat terakhir saya menikmati waktu-waktu hidup di
Jakarta. Maka jalani saja, arungi saja. Kelak, tak ada lagi kicau-kacau dengan
para sahabat, tak ada lagi rasa bosan menanti bus yang tak kunjung datang, tak
ada lagi kelebat suara yang menghiasi suasana halte di pagi hari, tak ada lagi
rasa mual di dalam angkot, tak ada lagi caci-maki di tengah kemacetan, karena
Jakarta hanya tertinggal dalam kenangan.
0 comments:
Post a Comment