Menghabiskan masa kecil di
pelosok nun jauh di timur Indonesia merupakan suatu hal yang selalu saya
syukuri. Tak masalah dengan betapa terbatasnya fasilitas, betapa sederhananya
kehidupan, betapa jauhnya kami dari segala hal yang berbau kecanggihan, masa
kecil saya dibumbui dengan sedikit duka dan banyak sekali bahagia. Saya mensyukuri
masa kecil yang indah, sama halnya seperti saya mensyukuri kesehatan dan
kewarasan yang Tuhan berikan.
Petang ini, ketika suara adzan
diperdengarkan dari masjid yang tak jauh letaknya dari kosan, memori saya melayang
ke belasan tahun silam, dan film-film pendek akan cetak masa kecil secara
random berputar dalam kepala. Saya seperti terhipnotis daya magis dari suara
adzan, seolah saya sedang mendengar suara adzan yang sama di kampung halaman
dari Masjid Nurul Iman, dan seluruh bocah bau keringat berlarian menyudahi permainan,
pulang ke rumahnya masing-masing. Saya termasuk dari gerombolan bocah-bocah
itu. Magrib, bagi kami anak-anak udik, selalu menjadi pertanda untuk menarik
diri. Begitulah yang orang tua kami ajarkan. Entah kenapa, omongan orang tua
tentang “banyak setan mulai berkeliaran di waktu magrib” selalu kami telan
bulat-bulat. Umumnya, anak kecil –sekeren apapun dia- selalu mudah didiamkan
dengan cerita setan.
Maka begitulah, petang ini saya
habiskan dengan menjenguk masa lalu. Beruntung rasanya pernah menjadi bagian
dari anak-anak pedalaman yang mencicipi serunya bermain air di sungai, memanjat
pohon kersen dan berbagi buah-buah mungil itu dengan para sahabat, menyulap
tanah liat menjadi kue-kue coklat yang lucu berbentuk hewan dan bunga. Tentu saja
karena saya telah menyelundupkan cetakan kue milik ibu saya sewaktu beliau
sedang tidur siang sehingga terciptalah permainan membuat kue dari tanah liat. Nakal,
tapi sangat menyenangkan.
Dewasa ini, mendapati anak-anak
kecil dengan sebuah gadget canggih bernama tablet di tangannya, saya merasa
seperti telah begitu jauh ditinggalkan oleh zaman. Seperti ada perasaan ganjil,
antara iri dan mengasihani. Iri karena semasa saya kecil, saya tidak pernah
bersentuhan dengan teknologi selain ikut memainkan nintendo milik abang saya. Lalu
saya kasihan, karena anak-anak itu pastilah tidak punya hal menarik untuk
mereka kenangkan saat dewasa kelak. Mereka tidak tahu apa itu buah kersen, mereka
tidak memetik bunga-bunga liar untuk dijadikan bando ketika bermain adegan
menjadi permaisuri, mereka tidak naik perahu milik para nelayan lalu
tertawa-tawa dengan para sebaya mengumpulkan kerang dan ikan-ikan kecil di
laut. Mereka tidak merasakan itu. Merasakan kenikmatan dibesarkan oleh alam, berenang
di laut sampai kulit gosong, menggelayut dari pohon satu ke pohon lainnya,
bermain benteng, kasti, kelereng, petak umpet, dan permainan-permainan
tradisional yang diciptakan oleh anak-anak kampung miskin untuk mengobati
kepedihan hati mereka.
Sejauh ini, saya bahagia atas
masa kecil yang setiap kali saya kenangkan, maka buncahan rasa rindu, haru dan
gembira menjalar-jalar di sepanjang rongga hati. Saya beruntung terlahir di daerah
pesisir nun jauh di Timur Indonesia. Merasakan segala hal yang sederhana dan
biasa saja bisa menjadi demikian indahnya. Dulu saya belajar berenang bersama
para sahabat setiap sore di laut di saat anak-anak zaman sekarang belajar
berenang dengan didampingi seorang coach
di kolam renang cantik yang dulunya hanya saya saksikan di televisi. Dulu saya berburu
buah-buahan hutan yang entah kenapa terasa nikmat di lidah tatkala kini
anak-anak zaman sekarang tinggal merengek ke orang tua melihat buah pir atau
anggur di supermarket. Dulu saya menyanyikan lagu-lagu Maissy atau Sherina
sedangkan anak-anak zaman sekarang menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang
sarat akan hal-hal berbau cinta. Bahkan dulu pun saya tak paham apa arti kata
cinta.
Masa kecil yang seru dengan
hal-hal sederhana dan serba apa adanya itulah yang membentuk mental dewasa
saya. Orang tua saya, dan orang-orang tua lainnya di masa lalu mengajarkan
anaknya untuk lebih produktif, untuk menciptakan permainannya sendiri tanpa
mengeluarkan sepeserpun biaya. Kami menciptakan mobil-mobilan dari kulit jeruk
bali, menciptakan mainan tembak-tembakan dari bambu yang pelurunya didapat dari
buah jambu air yang masih muda dan kecil-kecil. Anak-anak zaman sekarang
memainkan hal-hal yang serba konsumtif, canggih dan mahal. Mereka tidak lagi
bermain di sungai karena sungai telah kotor dan tercemar, mereka tidak bisa
bermain kelereng di tanah lapang karena kini semua tanah sudah digunakan untuk
pembangunan dan pemukiman. Yang kini tersisa bagi mereka adalah sebuah kamar
dengan design interior yang mewah, laptop di atas meja belajar dengan fasilitas
internet 24 jam, tablet untuk bermain game angry bird, dan segala kemewahan
lainnya yang tidak pernah saya rasakan semasa kecil dulu.
Zaman telah berubah. Banyak hal
yang kini tidak lagi mudah saya cerna dan mengerti termasuk mengapa orang tua
saat ini begitu memanjakan anak dengan segala fasilitas. Barangkali malu jika
anak lain punya ini-itu sedangkan anaknya tidak. Betapa malangnya anak-anak itu
karena tidak merasakan kemewahan bermain air di sungai atau mengumpulkan
buah-buahan hutan.
Petang ini, ketika adzan magrib
sudah sayup terdengar, saya memanjatkan rasa syukur tak terkira di dalam hati
kepada Tuhan karena telah menganugerahkan masa kecil yang begitu semarak kepada
saya. Ketika adzan magrib menarik kami anak-anak kampung udik untuk pulang dan
menyudahi permainan, anak-anak zaman sekarang hanya akan menyudahi permainan
ketika baterai di tabletnya habis. Lucu, tapi itulah kenyataannya. Saya tersenyum,
menyadari betapa beruntungnya saya terlahir di sebuah tempat antah berantah dan
menghabiskan masa kecil di tahun 90an. Segala keriangan ada di sana, segala suka
cita berasal dari sana, dan tatkala saya jenuh dengan kehidupan saat ini, saya cukup
menjenguk kembali masa lalu dan merasakan betapa beruntungnya menghabiskan masa
kecil di pelosok dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan.
Terima kasih, Tuhan :)
0 comments:
Post a Comment