Saya selalu jatuh hati pada cara
Tuhan menghias kaki langit. Pada petang, Ia bentangkan jingga sejauh jangkauan
pandang. Lalu di atas sana, awan selembut kapas terbiaskan kuning kemerahan.
Gendut bergumpal-gumpal bagai pijakan menuju tempat tertinggi bernama surga.
Dan yang seringnya menggenapkan suka cita adalah, laut yang berpijar keemasan
ditimpa sinar matahari. Menggoda hati untuk membilang apa saja hal-hal yang
patut untuk disyukuri.
Maka di sinilah saya menghabiskan
hari dan berkontemplasi. Rupanya sejauh apapun saya terdampar, Tuhan selalu
punya cara unik untuk membuat saya tak berlama-lama menggandar duka. Saya telah
sampai pada poros di mana saya merasa malu jika tak berterima kasih telah
dikirimkan ke pulau ini. Sebuah tempat yang awalnya saya datangi dengan
setengah hati, tapi lantas menjadi pembuka jalan bagi saya untuk lebih mengenal
diri sendiri.
Saya pernah berada dalam fase di
mana saya membenci takdir hidup yang sudah Tuhan gariskan. Saya pernah merasa
sangat kesepian dan terpinggirkan. Saya pernah merasa asing dan ingin pulang.
Saya pernah begitu merindukan keluarga, rumah, kampung halaman, pun kawan-kawan
sepermainan. Tapi lihatlah kini.. Saya telah menemukan orang-orang yang
menjelma menjadi saudara, serta para tetangga yang sudah seperti keluarga.
Merantau sungguhlah telah merubah
tabiat-tabiat buruk saya. Membuat saya mampu mengukur seberapa tangguh saya
bertahan dalam situasi-situasi sulit. Saya pernah diusir, diomeli, dikejar
anjing, bertengkar dengan tukang ojek, tersesat, dituduh menggoda suami orang.
Saya pernah berada di titik terendah kehidupan lalu saya belajar untuk melawan
keterbatasan, untuk mengalahkan rasa takut, untuk lebih berempati, untuk
menghargai perbedaan, untuk mencintai sesama. Dan terlebih, untuk menjawab
pertanyaan tentang apa saja yang sudah saya baktikan pada negeri.
Benarlah saya tak akan menjadi
apa-apa jika saya hanya mengkerut di bawah ketek orang tua dan bermanja-manja
dalam lingkar kenyamanan kampung halaman. Saya perlu merantau, mencicipi
petualangan demi petualangan, lalu memetik sendiri berupa-rupa hikmah yang
telah Tuhan tebarkan secara gratis di setiap badan kehidupan. Merantau membuat
saya mengenal dunia lebih dari sekedar melihat atlas atau membaca novel-novel
terjemahan. Dan saya semakin dibuat jatuh cinta pada hidup, pada kehidupan,
pada tiap goresan keindahan yang Tuhan ukir di permukaan bumi.
Sungguhlah air yang tergenang itu
cenderung keruh dan kotor, sedang air yang mengalir akan senantiasa jernih dan
bersih. Maka mari mengalir, mari singgahi setiap wadah, mari berperjalanan,
mari bertualang, mari tebarkan kebermanfaatan di mana saja, kepada siapa saja.