RSS

Tentang Selly


Seorang kawan lama, Selly, selalu dengan sukses membuat saya merasa iri bercampur rasa bangga. Selly kecil adalah seorang bocah cupu yang saya bonceng dengan sepeda, Selly remaja menjelma gadis penuh gairah, pemimpi tinggi, dan selalu tahu apa yang harus dia kejar dalam hidup ini.

Tak ada yang special dari dirinya selain dua hal ini: pekerja keras dan tak kenal kompromi. Jika saya adalah orang yang malas belajar dan hanya sekehendak hati mengerjakan tugas-tugas sekolah, maka Selly adalah kontradiksi. Dia bersemangat, siang dan malam, memecahkan soal-soal Fisika yang memusingkan lalu berusaha menjadi yang terbaik di kelas. Saya hanya si pemalas yang sering meminta contekan PR, memboncengnya dengan sepeda motor, lalu menjadi partner diskusinya tentang impian masa depan.

Selly selalu mengisahkan mimpinya untuk menjadi seorang banker. Bekerja dengan setelan blazer-rok span, rambut yang dicepol, lipstick merah menyala-nyala yang membingkai senyum sempurnanya. Dan saya, adalah orang yang tak mau kalah. Padanya saya kisahkan akan sehebat apa saya nanti ketika menjadi jurnalis, sejauh apa perjalanan-perjalanan yang akan saya tempuh untuk memburu berita dan mengintip keindahan dunia. Kita tertawa, saling mengaminkan doa-doa.

Takdir mempertemukan saya kembali dengan Selly setelah tujuh tahun berlalu dari masa-masa kelas 1 SMA. Selly telah menjadi Selly yang sukses dengan karir dan pencapaiannya. Tuhan memeluk doa-doanya, Tuhan menjawab kesungguhannya. Tak ada yang tahu bagaimana perasaan saya kala itu ketika harus merasakan cemburu dan bangga di saat yang bersamaan. Selly dengan gemilang telah meraih mimpinya. Sedang saya, tak lebih dari seorang pesakitan yang jatuh tersungkur. Tapi saya begitu bahagia melihat hidupnya saat ini.

Semakin lama berada di dekatnya, saya semakin minder dengan diri sendiri. Saya pernah bermimpi bersamanya. Saya pernah punya angan-angan yang tinggi seperti angan-angannya. Tapi saya hanya berakhir sebagai seorang PNS abal-abal. Budak birokrasi penuh kecacatan. Pekerja kantoran yang tak berhasrat. Orang yang setiap pagi terbangun dengan rasa sesal memikul beban tebal.

Melihat ke dalam mata Selly, saya melihat bayangan seorang Jurnalis yang mati pelan-pelan. Seorang jurnalis gagal yang menggadaikan masa depannya demi kebahagiaan orang lain yang tak bisa ia kesampingkan. Orang lain yang di bawah kakinya telah diukir sebidang surga dari yang Maha Tinggi.

Maka saya bisa apa? Saya telah kalah dengan diri sendiri. Kalah tanpa pernah diizinkan untuk lebih dulu bertanding.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment