RSS

Refleksi


Saya sering merasa iri pada mereka yang suka melakukan perjalanan-perjalanan jauh, mengunjungi banyak tempat, menjumpai beragam manusia, lalu membuktikan pada diri sendiri betapa mereka mampu bertahan dalam situasi-situasi sulit. Sementara saya, tak lebih dari pegawai rendahan dengan gaji pas-pasan yang jangankan untuk berperjalanan, untuk jajan pun saya masih berpikir ulang, cukup tidak ya nanti tabungan saya untuk menikah, membeli rumah, membantu kuliah adik, dan seterusnya.

Kadang ketika hasrat ingin begini dan begitu sudah terlalu memuncak, saya dipaksa oleh diri sendiri untuk belajar makna menjadi manusia sederhana. Saya lihat orang tua saya yang begitu biasa, yang kesehariannya hanyalah bentuk pengulangan dari tahun ke tahun, yang telah mendepak jauh-jauh kata bosan dari dalam pikirannya, dan lalu menerima bahwa hidup mereka tak mesti sama dengan orang-orang di luar sana yang bahagia dengan beralaskan timbunan materi.

Betapa saya iri pada kebersahajaan orangtua saya. Pada Mama saya yang tak banyak protes, tak banyak bicara, tak banyak menuntut, dan selalu meluaskan hati untuk satu kata bernama penerimaan. Dan Papa saya, lelaki senja yang usianya lima tahun lebih tua dari usia kemerdekaan negara ini, adalah seorang pensiunan yang setiap awal bulan selalu riang gembira menunggu nomor antrian di sebuah bank BUMN, hanya untuk mengambil santunan negara dengan nominal dua juta lebih, tapi sungguh tak sekalipun beliau pernah mengeluhkan itu. Mengeluhkan betapa minimnya pendapatan, betapa tak cukupnya uang  untuk menguliahkan adik saya, atau betapa sepasang suami-istri itu begitu ingin sekali berangkat haji namun apa daya, satu sen rupiah dari hidup mereka pun telah mereka gadaikan untuk mensarjanakan tujuh orang anak.

Banyak hal yang sulit saya pahami dan saya terima. Banyak ketidakadilan hidup yang sering saya pertanyakan. Banyak keinginan yang tumpang-tindih di dalam kepala. Tapi apapun itu, akan menjadi buyar ketika mengingat orangtua yang begitu sederhana dan menerima hidup mereka yang tak mudah itu. Setiap harinya, dalam bilangan angka-angka yang melebihi puluhan, mereka dengan amat biasa mengulang rutinitas yang bagi saya teramat menjemukan. Dari subuh hingga malam,dari tahun demi tahun, dari kami kecil hingga dewasa, Mama saya terutama, adalah orang yang tetap setia bangun paling pagi menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan halaman, merawat tanaman, membuatkan jajanan sore, mencuci baju-baju kami, mendampingi kami belajar setiap malam. Mungkin beliau pernah jenuh, mungkin pula beliau pernah iri pada orang lain yang kehidupannya jauh lebih mapan. Tapi beliau tak pernah sedikitpun berniat meninggalkan Papa saya, atau merajuk menuntut kehidupan yang lebih baik lalu meninggalkan kami terlantar dalam mimpi-mimpi besar tanpa punya kesempatan untuk sekolah tinggi.

Lalu saya, saya malu mendambakan hidup seperti orang lain. Saya malu mengeluhkan mengapa teman-teman saya bertamasya ke luar angkasa, sementara saya harus bekerja pontang-panting di kampung orang untuk mengumpulkan rupiah demi kehidupan keluarga yang lebih baik. Hidup tak mesti sama, masing-masing orang terberkati dengan kesenangan yang berbeda-beda. Bersyukur, menerima, melapangkan dada,berbagi dengan sesama, berbaik sangka pada-Nya, adalah sebenar-benarnya cara menjalani hidup yang sungguh hanya sebentar ini.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment