Ma, aku ingin menulis tentangmu. Bukan puisi, bukan kata-kata
indah yang akan kurangkai, tapi hanya sepotong kerinduan yang ingin
kutuang, daripada kubiarkan ia menguap dibawa angin. Aku tahu pasti kau
takkan pernah mungkin membacanya, dan kalaupun ia terbaca olehmu, semoga
kau mengerti bahwa aku merindukanmu dalam tiap sepi yang menderaku. Aku
tak ingin menangis, hanya saja airmata ini selalu meluncur deras setiap
kali kuingat akan dirimu, akan nasehat-nasehatmu, akan tatapanmu yang
mengandung begitu banyak arti dan tak pernah bisa kujamah.
Ma,
dulu saat masih kanak-kanak, aku selalu ingin menjadi cepat dewasa.
Selalu kutanyakan kapan aku menjadi besar dan tinggi.. tapi kini, di
tengah proses kedewasaanku, aku justru ingin kembali ke masa
kanak-kanakku. Kupikir orang dewasa bisa melakukan segalanya, tapi
ternyata menjadi dewasa bukanlah hal yang menyenangkan seperti yang dulu
kupikirkan. Satu yang pasti dari kenyataan menjadi orang dewasa adalah,
aku harus bisa bertanggung jawab untuk menjaga diriku sendiri. Rasanya
sungguh tak mengenakkan. Aku jadi terpikir bagaimana dulu engkau menjaga
kami bertujuh, mengkhawatirkan kami, apakah itu terasa berat bagimu,
ma?
Ma, waktu semakin berjalan ya.. rasanya aku masih
ingin berlama-lama di dekatmu. Aku rindu hari ulangtahunku yang selalu
dibuatkan nasi kuning olehmu. Tak pernah ada kado, tak pernah ada
perayaan tiup lilin, tapi bagiku nasi kuning yang kau buatkan jauh lebih
berarti dari itu. Ma, maafkan aku yang belum bisa memberikan apa-apa
untukmu, belum bisa menjadi sesuatu meski kau tak pernah meminta sesuatu
dariku. Begitu banyak yang sudah kau berikan, dan aku hanya bisa berdoa
semoga masih ada kesempatan bagiku untuk memberikan seperseribu saja
dari yang pernah kau berikan padaku sebelum akhirnya Tuhan akan
memanggilmu.
Ma, mama semakin menua. Setahun sekali
berjumpa denganmu, yang kulihat berubah hanyalah rambutmu yang semakin
banyak memutih. Dan tulang-tulangmu kini semakin menonjol karena kau
semakin kurus. Selebihnya, perhatian dan kasih sayangmu tak pernah
berubah, kau masih saja bertanya besok aku ingin dibuatkan masakan apa..
ma, kenapa kau selalu baik padaku? lalu dengan apa aku harus membalas
semua kebaikanmu? Kau masih saja meminta maaf jika kiriman uang kos
darimu datang terlambat. Padahal harusnya aku yang meminta maaf karena
masih saja menjadi beban bagimu. Kau menyesal karena tak bisa ada di
sini ketika aku tengah bersedih, padahal aku sendiri tak pernah tahu
kapan hatimu sedang diliputi kesedihan.. terbuat dari apa hatimu ma?
Kenapa engkau tak pernah marah, tak pernah menyalahkanku jika aku gagal
dan membuatmu kecewa? Kenapa kau masih mampu berkata dengan nada lembut
sambil mendoakanku ma?
Ma, aku rindu.. di sini begitu
kosong tanpamu.. aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin cepat-cepat lulus
dari sini dan melihatmu tersenyum di hari wisudaku. Semoga engkau bangga
padaku selayaknya aku yang selalu bangga memiliki ibu sepertimu ma.
Jika manusia di dunia ini akan terlahir kembali, aku hanya ingin
terlahir dari rahimmu, menjadi anak keenammu yang kau beri nama Elvira.
Aku tak ingin menjadi orang paling hebat, cukuplah dengan menjadi anakmu
saja ma. Ma, Aku mencintaimu. Aku mencintaimu karena Allah. Maafkan aku
yang tak pernah mengucapkan kalimat itu secara langsung di hadapanmu.
Ma,
bagaimana kabar mama? Di saat jauh dari mama, aku selalu ingat mama.
Dulu sewaktu kecil setiap kali pulang sekolah, seperti sebuah keharusan
bagiku untuk mencarimu di dapur, melihatmu memasak atau berkutat dengan
adonan-adonan kuemu. Barulah aku merasa senang dan segera mengganti
baju. Kalau tak melihatmu di dapur, aku pasti akan mencarimu di tiap
sudut rumah. Aku tak punya alasan mengapa hal itu selalu kulakukan, tapi
ada kelegaan bagiku setiap kali aku melihatmu. Seringkali aku rindu
setiap sore yang kau habiskan untuk mencabuti rumput, menyirami
bunga-bunga yang kau sayangi, tersenyum pada cabe, tomat, serai dan
daun-daun kemangi yang tumbuh lebat di halaman samping rumah kita. Aku
hanya duduk di teras sambil memandangimu, merasakan betapa kau teramat
mencintai hidupmu yang sebenarnya sudah cukup berat ini.
Beberapa
minggu lalu aku mengirimkan cardigan untukmu. Kau menelpon dan berkata
bahwa kau menyukai apa yang aku berikan. Kau senang karena cardigannya
terlihat bagus di badanmu. Tahukah engkau ma, aku jauh lebih senang
karena hal kecil seperti itu mampu membuatmu gembira.. syukurlah karena
aku masih bisa memberikan sedikit arti bagimu ma..
Ma,saat
kemarin aku pulang, kau bercerita padaku perihal bekas operasi di
kakimu yang masih terasa sakit. Bahkan kini ada daging yang mencuat
keluar dan membuatmu menahan kesakitan ketika berjalan. Ma, tahukah kau
bahwa aku ingin menangis melihat semua kesusahan yang kau tanggung..?
tapi dengan itu kau masih bisa tersenyum, masih bersemangat membuatkan
sarapan dan snack sore setiap hari untuk anak-anakmu. Aku hanya bisa
menuangkan air hangat ke ember, membiarkanmu merendam kakimu di situ
sembari memijat bahu-bahumu yang kelelahan. semoga itu bisa mengurangi
rasa sakit yang kau tahan selama ini. andai saja aku dokter ma, mungkin
aku bisa menjadi lebih bermanfaat bagimu. Tapi di sini aku hanya belajar
tentang statistik ma, tak ada yang kutahu tentang obat-obatan. Aku
hanya berharap semoga Allah mengganti setiap derita yang kau tanggungkan
dengan pahala berlipat ganda, dan semoga rasa sakitmu menghapus setiap
kesalahanmu dan mempertemukanmu dengan surga-Nya.
Ma,
maafkan aku yang setiap kali pulang, tak ada yang bisa kubawa selain
hanya menambah beban dalam keranjang cucianmu. Dalam usiaku yang
terbilang dewasa ini, seringkali aku masih saja mengeluh, mengadu
hal-hal kecil padamu, merepotkanmu, menanyakan ini dan itu padamu. Aku
sadar tak bisa terlepas darimu. Kau memang muara segala hal. Aku
mencintaimu ma, walau itu tak pernah terucap. Sama halnya dengan engkau
yang tak pernah mengucap kata cinta pada anak-anakmu, tapi aku tahu kau
mencintai kami, ma. Lebih dari kata cinta itu sendiri.
Akhirnya,
aku hanya bisa terpaku pada deretan kalimat-kalimat ini. terlalu banyak
keindahanmu yang tak terjangkau oleh bahasa, terlalu banyak kasih
sayangmu yang tak sanggup kuceritakan lewat kata-kata saja. Semuanya
terlalu sesak dan tak akan muat dalam lembar-lembar kertas. Kelak jika
nanti aku menjadi seorang ibu, aku hanya ingin dipanggil “mama”, persis
seperti aku yang selalu memanggilmu mama..
I love u, Ma..