Tuhan selalu punya cara romantis
untuk menyentil saya ketika saya terlampau jauh keluar dari jalur. Kadang saya
sombong lantas menyalahkan takdir. Mempertanyakan begitu banyak hal yang
sebenarnya tidak butuh jawaban.
Adalah seorang petani singkong
berwajah sendu yang mayoritas giginya sudah tanggal digerogoti usia. Sungguh
saya tak sampai hati melihat bagaimana seorang bapak setua itu masih berjibaku
dengan ganasnya matahari, untuk menegaskan –entah pada siapa, barangkali untuk
dirinya sendiri- bahwa ia masih mampu menghidupi keluarga. Demi harga diri
lelaki, dan demi cinta tak berkesudahan kepada anak-istri.
Seorang bapak yang tangannya
gemetar memegang pena, yang bahkan sudah lupa pada bentuk goresan tanda
tangannya sendiri, memaksa saya untuk berhenti mengutuki takdir hidup. Matanya
yang sayu berbicara dalam diam, menceramahi saya dari A sampai Z tentang makna
belajar mencintai pekerjaan. Badannya yang kurus ringkih dan hampir bungkuk itu
seperti pedang yang menusuk-nusuk pikiran picik saya. Membuat saya sadar,
betapa tidak ada jalan yang mudah dalam mengumpulkan rejeki yang halal.
Kesulitan-kesulitan yang saya
keluhkan, tak terbanding seujung kukupun dengan tahun-tahun berat yang dilalui
bapak tua pemilik kebun singkong ini. Lalu ada yang terjun bebas dari sudut
mata saya, butiran bening yang tak kuasa saya tahan. Saya merasa betapa sia-sia
waktu yang terbuang karena merutuki jalan hidup yang sudah Tuhan gariskan.
Kenapa tidak saya terjang saja semuanya?
Dan lagi, kerutan kulit di
punggung tangan pak tua mengingatkan saya pada Ayah. Ayah yang juga semakin
menua. Ayah yang hanya bisa saya jumpai setahun sekali. Sungguh saya rindu.
Pada hari-hari ketika ayah membonceng saya dengan motor tuanya pergi dan pulang
sekolah. Pada suatu malam ketika ayah mengajari saya cara mengikat tali sepatu.
Pada tawa girang ayah ketika berhasil membelikan saya duren. Pada cara ayah
mengeringkan rambut saya. Saya rindu.
Dan tentang nafkah. Ya, nafkah.
Sebuah kata yang dulunya tidak pernah sedalam ini saya pikirkan. Enam huruf yang
bagi saya begitu kompleks sebab di situ terselip pengorbanan, semangat juang,
kerja keras, guyuran peluh, doa serta rasa sayang yang terbungkus dalam hening.
Terkubur lekat di kalbu para pelindung keluarga: ayah-ayah terbaik di dunia.