Teka-Teki Hati
Catatan di Dinding WC Umum
Sudah sepuluh tahun lebih berlalu. Tapi butuh seumur hidup untuk melupakan.
Bayangan..
Kenangan..
Aku benci harus mengulang dari permulaan.
Membilang hal-hal apa saja yang harus ditinggalkan.
Cowo Baik Saja Tidak Cukup
Hard to Say Goodbye
Gempa Pasti Berlalu
2 minggu sudah kami hidup dalam kemelut dan rasa takut. Lebih dari seribu gempa menghantam kami. Menghantam pulau kecil kami. Setiap siang kami berdoa mengharap keselamatan malam. Setiap malam kami melangitkan doa berharap esok semua akan baik2 saja.
Dulu kami cinta pada laut kami. Kami banggakan, kami puja, kami sanjung. Tapi hari ini kami takut. Sebab laut mengancam kami dengan petaka. Dengan kecemasan dan kekhawatiran pada apa yang terjadi nun di bawah sana. Di kedalaman yg tak terjangkau oleh pengetahuan kami.
Masihkah Tuhan berkenan mengulurkan kasih dan ampunan? Pada kami yg berdosa, pada kami yg durhaka. Pada kami yg sombong dan amat semena-mena melukai bumi.
Tuhan.. Maafkan kami. Hindarkan kami dari bencana dan marabahaya. Sudah cukup kami hidup dalam rasa takut. Pada kali ini saja Tuhan... Izinkan kami melanjutkan hidup dan memperbaiki diri.
Menghapus Dia
kenangan akan selalu bercokol di situ. serupa energi yang tak dapat dimusnahkan. Wujudnya menjelma apa saja. Dan bisa menghantuimu kapan saja.
Ketika kamu menelusuri jalanan yang pernah kalian lewati bersama.
Ketika radio menyetel lagu yang pernah kalian lantunkan di bilik karaoke.
Ketika secangkir kopi di kafe menyentil ingatan tentang masa lalu.
Ketika aroma parfum tertentu menyeruak di antara keramaian dan mencungkil mata memori.
Kamu boleh membuka halaman baru. Menuliskan jalan cerita baru. Adalah hakmu untuk melangkah maju dan memang sudah sepatutnya begitu. Tapi dia, selamanya akan menjadi sejarah. Bagian paling indah yang pernah mengubahmu menjadi kamu yang saat ini.
Hari Baru
Orang baru. Tempat baru. Hari baru. Luka baru. Kesempatan baru.
Akan selalu ada kata baru yg melekat pada setiap hal. Terkecuali satu: kenangan.
Dia diam sendiri. Melekat, mengakar di situ.
Entah sampai kapan.
Ber-Juli-Juli
Soal Jalan-Jalan
Ada temen yg nanya, kok lo sering bgt pergi2 ksana ksini tapi fotonya ga pernah lo pamerin ke socmed. Hihi. Trus saya bingung deh jawabnya.
Gak muna sih dulu saya pernah ada di fase dimana dikit2 aplot foto, acara ini aplot, pergi ke situ aplot. Tapi makin dewasa, di saat umur udah 22 ke atas kok rasanya udah ga butuh ngelakuin itu semua ya.
Ngerasa bgt sih umur 22 tuh titik balik di mana saya jd makin slow dan gak mau musingin lagi how to impress others gitu loh. Kaya hidup tu ya buat diri sendiri aja.
Pencapaian apapun, jalan2 ke manapun, apa yg saya punya dan apa yg saya raih ya saya keep buat diri sendiri aja. Gak perlu org lain tau dgn aplot2 ke socmed lalu ngarepin pujian, karena buat apa juga. Apakah itu bikin saya bahagia dan mendapat pengakuan?
Kalo urusan socmed sih saya emang masih ngaplot foto, tapi sebenarnya buat color coordinate di feeds IG aja. Jadi apapun yg saya aplot sebenernya foto2 yg harus punya warna tertentu. Jd foto IG sama sekali bukan buat mengesankan org, tapi lebih ke tema aja.
Soal travelling, saya lumayan sering pergi2 karena itu bagian dari kerjaan. Kalo maen ke luar negeri ya karena emang kesempatan dan duitnya ada sih. Bukan untuk fefotoan lalu diaplot ke socmed demi sebentuk eksistensi. Tapi lebih ke nyicipin pengalaman baru biar saya bisa tetap waras aja.
Ke luar negeri itu bikin otak saya lebih kebuka terutama karena saya tinggal di kota kecil di timur ya. Makanya saya butuh melihat dunia biar saya gak ngerasa tertinggal jauuuuhhhh oleh zaman dan peradaban. Ambon dan Jakarta aja udah jauh banget bedanya. Apalagi luar negeri. Kadang suka ngerasa Ya Allah saya tu cuma ampas kelapa doang di tengah2 semua kecanggihan ini. Jadi apa yg perlu saya sombongin coba. Hiks.
Musim Hujan dan Musim Kawin
Laki Gua Napa Yak
Pulang perjadin 4 hari, sampe rumah smua sdh bersih. Pakaian kotor sdh dicuci, kamar mandi dan wc digosok, rak piring rapi jali, seprei diganti. Siapa yg gak seneng punya laki cem begini?
Huhu terharu gaksi dibaikin gini. Kebaikan kecil aja padahal. Gak perlu bunga mawar segambreng yg dihamburin di kasur. Gak perlu jajanin perhiasan mahal. Segini aja cukup cyin. Jadi mikir apa yg udah saya lakuin sih sampe dikasih suami super baik dan pengertian?
Kita sama2 kerja, sama2 nyari duit, dan harus juga sama2 saling bantu urusan rumah kaya bersih2 dan masak2. Semua punya peran dan tanggung jawab yg sama. Gak ada yg porsinya lebih banyak atau lebih dikit.
Alhamdulillah. Suami yg perfect gak cuma ada di film2. Tinggal laki guah turunin berat badan 10 kilo aja, Darius pasti lewat.
Puas dan Nikmat
Tidak Apa-apa
Apa cm saya ya, yg pengen hidup gini2 aja. Gak punya target utk menjadi apa2, atau meraih apa2. Biarkan smua mengalir tanpa menaruh ekspektasi thdp apapun. Orang2 sibuk ingin mengubah dunia. Saya sibuk mengagumi dunia dan kehidupan. Mengamati langit malam. Menikmati tiap hembus angin yg menerpa wajah ketika duduk di atas sepeda motor. Memuja tatanan alam semesta. Saya ingin hidup begini saja adanya. Tanpa ambisi ini dan itu.
Jika saja impian dan keinginan memiliki wujud dan massa, lalu kemudian mereka kebal akan gravitasi, maka harapan setiap orang akan melayang2 di udara dan saling bertabrakan. Lalu saya, yg sama sekali tak ingin mencapai apa2 ini menjadi ngeri sendiri membayangkan semua itu.
Saya merasa hidup pada era atau dimensi yg berbeda dr orang kebanyakan. Karenanya saya suka menyendiri. Diam di tempat di mana saya duduk saat ini dan menyaksikan setiap orang bergerak dalam kecepatannya utk mengejar apa yg menurut mereka pantas utk dikejar. Lalu saya capek sendiri. Saya lelah hanya untuk sekedar melihat. Apalagi berusaha memahami jalan pikiran manusia. Mungkin saya naif. Bisa jadi bodoh. Atau mungkin otak saya sudah dimakan rayap.
Hehe. Saya tak pernah menyoal mengapa saya berbeda. Mengapa mereka begitu. Mengapa sepuluh tahun terakhir ini saya lupa meramu mimpi. Saya memilih hidup seperti ini saja. Dalam ekliptika yg saya bangun agar saya tak kecewa atau terluka. Karena saya tak ingin membuktikan apapun kepada siapapun.
Baru Bisa Bersyukur Setelah Liat Orang Lain Susah
Malam ini, dalam remang lampu kafe di meja paling pojok, saya merenungi hidup. Banyak hal terjadi belakangan ini. Banyak hal membuat saya bukan lagi saya yg kemarin.
Biarkan secara random saya bercerita.
Beberapa hari lalu saya mengurus perpanjangan SIM. Singkatnya, ada masalah sehingga perpanjangan SIM saya ditolak. Entah gimana. Tapi setengah jam berselang ketika saya udah lemes dan memutuskan untuk pulang, ada seorang polisi nyamperin. Dan bilang kalo dia akan bantu saya. Bantu yg benar2 tulus tanpa imbalan. Sejam kemudian saya dapat SIM yg baru. Dalam hati saya bilang, Allah itu beneran Maha Baik ya. Terus terngiang2 dalam otak saya gimana cara Tuhan bekerja. Dan gak lupa saya doakan berupa2 kebaikan utk pakpol yg sudah bantuin saya ini.
Kemaren, saya nonton film Five Feet Apart dan tersedu sedan menyadari betapa beruntungnya saya atas kesempurnaan hidup yg sudah Tuhan kasih. Di saat orang lain terlahir dengan penyakit dan cobaannya sendiri2. Ada yg putus asa. Ada yg memilih menyerah. Ada yg berjuang keras meski tau harapan hidupnya hanya sedikit. Lalu saya, yg punya segalanya ini terkadang justru abai dalam mensyukuri kesehatan dan kecukupan yg sdh saya punya. Parah sekali saya ini.
Semalam saya makan berdua dgn seorang teman lalu berbagi cerita. Tentang temannya teman saya yg baru saja nikah tapi dia dan suaminya belom punya pekerjaan yg tetap. Sampe cewenya skrg sakit gara2 hamil dan harus rawat inap, mereka bener2 gak punya uang dan harus minjem ke orangtua. Padahal dalam kacamata saya, mereka ngadain pesta nikah kemaren lumayan mewah. Dekornya bagus. Tamunya banyak. Seragam bridesmaid juga keliatan mahal. Uang dari mana ya? Mgkn sumbangan ortu dan keluarga. Terserah mereka sih. Tapi setelah acara resepsi yg super megah itu, suami istri memble karena terjepit masalah duit. Lalu kebingungan ke depannya harus gimana.
Hufffttt. Nikah tu gak asal maen nikah aja maifren. Butuh perencanaan yg matang. Dan saya jadinya setelah melihat kemalangan orang laen baru bisa bersyukur. Bersyukur karena nikah benar2 pakai biaya sendiri hasil kerja keras kami berdua. Dan setelah nikah, duit gak abis total karena masih bisa beli rumah. Dan tentu, kami sama2 punya pekerjaan tetap yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun untuk bantu2 keluarga. Allah itu benar2 baik sama saya. Sama cowo saya. We're so blessed.
Sekarang, saya mulai mencoba menjalani hidup dengan lebih positif. Untuk gak terlalu mengeluh tentang kekurangan saya yg banyak di sana sini. Tapi justru mulai menghitung berkat yg setiap harinya Tuhan kasih. Semoga saya terus bertumbuh menjadi lebih baik, meski masih jauuuuuh sekali dari kata baik, apalagi sempurna. Doakan saya ya.
Hopeless
Kenanganku ttg papa adalah saat beliau pulang tugas dari Jakarta. Umurku 4 tahun kala itu. Masih TK. Dan aku dibelikan jam tangan sailormoon. Itulah jam tangan pertamaku.
Kenangan yg lain adalah tentang sampul buku berwarna coklat. Yg selalu dengan telaten beliau sampulkan pada buku catatanku dan kakak agar tetap rapi. Pensil2ku diraut papa dgn tajam. Sepatu sekolahku pun disemir hitam. Lucu. Namun sejak hari itu aku tahu apa yg tersimpan di hati papa. Sesuatu yg seumur hidup tak pernah beliau katakan: sekolahlah setinggi2nya melampaui apa yg telah papa raih.
Hari ini aku gamang. Menyalami seseorang yg sebentar lagi berangkat utk sekolah ke luar negeri. Kulihat bayanganku yang terpantul dari kaca lemari. Aku nampak mengkerut disana. Seperti pesakitan yg putus asa akan masa depannya sendiri. Aku merasa sampah. Seburuk2nya sampah. Dan aku merasa hina. Sehina2nya anak durhaka yg tak mampu memenuhi harapan orangtuanya.
Terkenang kembali akan masa2 SDku dgn papa. Tangan kurusnya membentangkan karton manila putih. Membuat garis2 sejajar dgn ukuran tertentu lalu mulai mengukir huruf2 besar. Become Became Become. Break Broke Broken. Give Gave Given. Take Took Taken. Berpuluh kata berderet di sana. Aku takjub. Begitu cara beliau agar aku mudah belajar bahasa inggris. Maka saat itu kupikir papaku adalah salah satu orang paling pintar di Indonesia. Selevel dgn para menteri2 kabinet pembangunan VI. Mungkin Ali Alatas, atau Harmoko, atau yg lainnya.
Kini, melihat ke dalam diri sendiri yg hidup tanpa ambisi ini, aku sadar dalam sepenuh2nya kesadaran. Bahwa aku tak mampu menjadi apa yg papaku harapkan. Sekolah yg tinggi. Jadi manusia berguna. Membanggakan negara dan orangtua. Semua yg terbaca olehku lewat sorot matanya membuatku merasa amat bersalah. Betapa aku ini adalah anak yg tak berguna dan selalu mengecewakan.
Maka petang ini, kutenggelamkan diriku dalam tumpukan dokumen2 kantor untuk menutup rasa bersalah pada papa. Dan rasa bersalah pada diri sendiri yg hidup tanpa mimpi.
Dia
Pada ingatan. Pada kenangan. Pada apa2 yg membuatnya ingin selalu menengok ke belakang.
Biarkan sekali ini saja. Dia tumpahkan sederas-derasnya tangisan.
Aku dan Sepeda Ayah
Pagi itu seperti biasa, seperti minggu pagi yg sudah2. Ayah akan memboncengku naik sepeda, melewati 4 persimpangan hingga tiba di ujung dermaga. Sebentar saja. Tak lebih dari 20 menit. Asal aku dapat mendengarkan cerita tentang kebijaksanaan burung2 nokturnal. Atau tentang para cacing yg baik hati. Tentang hidup yg beliau kisahkan dalam bahasa2 sederhana namun indah. Dalam puisi2 khas pria setengah baya yg tidak tamat SMP.
Pukul 7 nanti kami mesti kembali ke rumah. Begitu selesai sarapan, ayah sudah harus berangkat kerja. Mengayuh becak sekuat yg beliau mampu agar periuk nasi kami tetap terisi. Dan agar aku bisa terus sekolah. Belajar sekeras kayuhan pedal becaknya agar aku dapat menghidupkan mimpi masa kecil ayah: sekolah di Inggris. Bergetar dadaku mendengar cita2 maha dahsyat itu. Sedang cita2ku teramat sederhana dan standar, khas anak lelaki pada umumnya. Menjadi polisi, karena menjadi power ranger amatlah tidak mungkin. Tapi aku tak pernah sekalipun mengatakannya pada ayah. Bagaimana bisa aku melukai hatinya? Meski aku tahu sekolah di luar negeri terlalu berlebihan untuk bocah kampung miskin sepertiku. Tak akan pernah tergapai. Namun bagi beliau, bagi ayahku yg pernah putus sekolah karena terbentur biaya, setiap tetes keringatnya adalah aliran deras air sungai yg mengantarkanku menuju laut. Menuju masa depan penuh pengharapan. Aku harus meneruskan mimpinya. Aku tak ingin ayah kecewa.
Tak seperti biasa ayah belum bangun sesiang ini. Pukul enam. Ibu sudah sibuk di dapur. Tapi ayah tak kunjung bangkit dari tempat tidur. Apakah ayah membatalkan janjinya secara sepihak? Adakah beliau marah karena nilai bahasa inggrisku tidak sembilan seperti semester lalu? Aku tak tahu. Kuhampiri beliau di kamarnya. Beliau nampak lelah terkujur di kasur. Kupanggil namun tak ada jawaban. Aku coba menepuk2 lengannya, barangkali beliau akan bangun dan minta diambilkan air putih. Hening. Kuguncangkan tubuh kurusnya dan saat itu aku tersadar dalam kenyataan yg paling memilukan. Ayah tak akan pernah lagi terbangun dan memboncengku dgn sepedanya. Beliau telah pergi. Meninggalkan aku dan ibu dalam tanda tanya akan hari esok.
Langit seperti runtuh menimpaku. Dan badanku jatuh terkulai dalam jerit yg meneriakkan satu nama.
Menutup Januari
Malam ini hujan. Rasanya pengen nyeduh kopi. Duduk di teras. Menikmati hawa dingin seorang diri aja.
Tapi saya harus kerja. Menutup bulan januari ini dengan lembur. Kerja sampe mabok sendiri. Dan akhirnya, challenge buat 31 hari menulis di bulan Januari gagal total. Sedih.
Bingung ya kenapa kita suka bete kalo sibuk banget. Tapi bete juga kalo gada kesibukan. Huftt.
Eliminate
Semakin dewasa, lingkaran pertemanan semakin mengecil. Orang2 yg dulunya selalu berada di orbital pertama hati kita, pelan2 terdepak dengan sendirinya lewat seleksi alam. Itu lumrah adanya. Undeniable!
Jarak, bisa jadi salah satu faktornya. Perbedaan lingkungan, dunia kerja, kesibukan berumah tangga, adalah faktor2 berikutnya. Ada yg tereliminasi. Ada yg tetap bertahan. Beruntunglah kita, ketika masih memiliki sedikit dari orang2 yg tetap bertahan itu.
Masih Begini
Puisi2 ini lahir dari kenangan dan rasa rindu. Kenangan yg selalu kuputar ulang dalam ingatan agar rindu tak terlalu hebat menggebu.
Rinduku amat rahasia. Biarkan kutitipkan Pada rembulan yg melengkung manis di saat ini. Agar senyummu terwakilkan dalam lukisan langit malam. Dan aku dapat menikmatimu sebebas yg aku mau. Sebelum pagi merenggutmu. Sebelum embun menguap membawa pergi angan2 tentangmu.
Dear My Baby
Suatu saat mungkin aku akan lupa cara menulis puisi. Tapi kupastikan itu terjadi setelah aku membuat banyak ungkapan cinta untukmu, dan untuk ayahmu. Untuk kita. Karena setelahnya cinta hanyalah sebatas malam2 penuh keterjagaan. Hanya sebatas beberapa cangkir teh hangat yg kita nikmati setiap sore. Sebatas segala hal yg kuupayakan agar mimpimu tetap mengangkasa. Sebatas doa yg kupanjatkan setiap harinya agar hidupmu bahagia dan bermanfaat.
Suatu saat kamu akan mengerti betapa puisi2ku tak lagi terlalu berarti. Hanyalah cerita cinta sederhana yg kukemas dgn pita merah muda. Sebab cintaku telah luruh dalam tiap tindakan dan waktu. Mengikutimu kemanapun kakimu menuju. Hingga cukuplah semua dipahami tanpa perlu banyak coretan kata.
Kata-Kata di Cermin Kamar
"Tak akan pernah miskin anak yg membelanjakan hartanya utk menyenangkan ibu bapaknya". Itu kalimat yg saya tulis dan tempel di cermin kamar saya. Supaya bisa saya baca setiap kali saya lelah. Setiap kali saya bilang saya pusing soal kerjaan, atau saat saya pelit dan enggan utk berbagi dgn keluarga.
Saya ingat kembali akan doa2 saya dulu di setiap petang. Saya ingat kembali akan wajah lega orangtua di hari kelulusan saya 6 tahun silam. Dan saya tau utk apa saya lakukan semua ini.
Saat saya ikhlas memberikan apapun yg saya punya utk menyenangkan hati orangtua, disitulah mengalir banyak berkat utk saya, rizki yg berlimpah ruah utk saya. Seperti kata seorang teman yg pernah saya tanya "men, kok lo ga pernah pelit sih?". Jawabannya sederhana, "karena apa yg kita lemparkan pasti bakal mantul lg ke kita men".
Ah, dan saya tertusuk.
A New Boss
Di kantor ada rotasi jabatan. Dan bos saya di ruangan dipindah ke bidang lain. Trus saya bakal punya bos yg baru. Asli, baru kali ini saya ngerasa sedih. Semacam gak rela bakal gak sama doi lagi. Gak bakal rapat tiap senin lagi pake sandal jepit doank. Atau gosip ktawa2 sama temen2 seruangan tanpa takut dimarain. Karena doi santai banget. Gak kaku. Gak marah2 biarpun kita berisik. Ya selama kerjaan kita emang bagus dan bener2 selesai tepat waktu. Semua aman.
Saya gak bakal lupa sih sama kebaikan bapak ini. Yang sudah narik saya dari kehidupan suram di kabupaten, trus dipindahin ke provinsi. Trus yg terakhir, promosiin saya mati2an utk jabatan esselon IV walaupun banyak yg gak setuju. Doi bener2 baik dan tulus sih. Saya gak bakal lupa itu.
Semoga semuanya bakalan baik2 aja lah walopun saya belum benar2 tau bos yang baru ini akan seperti apa orangnya. Intinya kerja sebaik mungkin dan gausah banyak gaya kalo gak pengen kena damprat.
Beberapa Tahun dari Saat Ini
Rizki (Bukan Febian)
Tadi saya abis baca2 di twitter. Kalo rezeki itu gak selamanya berarti uang. Bener banget sih ya. Dikasih badan yang sehat, temen2 yg menyenangkan, pasangan yg pengertian, orangtua yg masih lengkap, lingkungan tempat tinggal yg aman, mau makan apa aja gak bakal kekurangan. Itu bener2 berkat. Bisa beribadah dgn tenang tanpa rasa was2 juga adalah rezeki sih.
Kenapa ya kita jadi manusia kok suka lupa bersyukur. Dan suka maruk pengen lebih lagi lebih lagi. Baju saya di lemari udah tumpah2, tapi tiap bulan tetep aja suka belanja lagi. Jam tangan stengah lusin tapi bulan ini beli sebiji lagi. Apa deh guweh. Sepatu? Punya 2 sneakers tu sebenernya udah cukup. Dipakenya cuma pas hari jumat pulak. Kalo ngemall dan maen keseringan pake sandal. Tapi cita2 pengen koleksi sneakers kalo udah pindah ke rumah baru nanti. Hufffft.
Kalo malem2 sebelum tidur saya suka mikir saya kok gini ya. Gaya hidup jadi gila bgt seiring pendapatan saya yg ikutan naik. Dulu makan siang cukup di warteg aja 13 rebo. Sekarang makan siang di mall mulu. Pesen minuman juga yg mahel2. Trus diri ini suka ngasih pembenaran kalo gapapa lah belanja2, itu kan reward ke diri sendiri atas kerja keras dan rasa capek selama saya nyari duit. Apa banget. Sinting lo, phy!
Sebenernya saya tu pengen cerita apa sih? Udah pokonya banyak2 bersyukur lah dikasih banyak rezeki sama Tuhan. Dan jangan lupa berbagi sama mereka yang gak seberuntung kita.
A clumsy Little Girl
Jadi cewe itu berat. Jadi cewe yang clumsy berarti dobel beratnya. Saya gak pernah milih buat jadi kaya gini, tapi sumpah gatau kenapa kecerobohan ini selalu ngikutin kemanapun saya pergi. Huhu.
Kalo kamu liat cewe yg lagi jalan sama rombongannya ktawa2 trus ada salah satu yg kesandung, cewe itu adalah saya. Kalo jalan ke toko pernak-pernik lucu dan saya takjub lalu megangin suatu barang, maka dipastikan barang itu bakal jatoh. Kalo saya lewat di lorong2 rak buku, buku2 pada ambruk walaupun cuma kena angin dari badan yg tak berdosa ini.
Ya Allah. Bener2 dah sampe kalo jalan2 kemanapun cowo saya sering bilang, "gausah pegang2 apa2 ya". Kesel parah gaksi digituin. Tapi itu nyata adanya. Saya juga pernah sih ngerusakin tab orang. Padahal cuma saya pinjem buat maen game 'where's the water' yg buaya2 nyari aer buat mandi itu loh. Tapi setelahnya tab itu gamau nyala. Dicharge juga tetep gak idup. Pas saya balikin tabnya ke si empunya, seminggu kemudian tab itu hidup secara magis. Gimana gak tambah kesel.
2 minggu yg lalu saya matahin konci mushala kantor. Kaya patah aja gitu loh pas saya buka. Beneran gak pake kekuatan super padahal. Akhirnya saya kekonci di mushala dan kudu teriak2 minta tolong dari jendela. Ini bukan pertama kalinya saya matahin konci. Dulu juga konci kantor (waktu saya masih kerja di kabupaten) gak sengaja saya patahin. Gile lu, phy.
Sebenernya ini ironis sih karena saya kan orangnya rada pendiem, tertutup, introvert, jarang ngomong kalo gak perlu2 amat. Harusnya saya kan perfeksionis tuh. Penuh kehati-hatian. Jarang bikin salah lah. Makanya aneh kalo orang kaya saya bisa super clumsy. Kaya kutukan. Ini juga jadi alasan saya gak pernah pake high heels di kantor kecuali buat kondangan. Cari aman aja daripada jatoh-benjol-patah gigi.
Mungkin gak bakal ada yg percaya kalo saya tidurnya kalem kaya princess. Satu gaya aja dari tidur sampe bangun lagi, yg kadang bikin saya suka kesemutan dan pegel pas bangun tidur. Saya tidur beneran rapi. Gak pake acara ngorok atau ngences. Tanya aja sama semua temen2 yg pernah bobo bareng saya (bukan om2 yg bayar 80 jeti ya wkwk). Tapi kalo saya udah bangun dan beraktivitas, runtuh segala isi dunia.
Menjadi Ibu
Saya akan selalu mengenang kebaikan mama sepanjang umur saya. Kebaikan yang saya percaya akan selalu mengalirkan pahala untuknya. Kelak ketika menjadi seorang ibu, saya ingin menjadi ibu yg dibanggakan anak2nya. Seperti saya. Yg selalu bangga punya mama seperti beliau.
Rizki yang Baik
Saya selalu percaya, anak2 yg baik dibesarkan dari rejeki yg baik. Rejeki yg dikejar dgn berpeluh2, dgn kucuran tenaga serta pikiran yg seringkali tak dapat dinalar. Itulah sebaik2nya nafkah.
Maka tak perlu berpanjang kata utk sekedar membuktikan sehebat apa seorang ayah memberi makan istri dan anak2nya. Tengok saja ke dalam diri masing2. Adakah kita baik perangainya? Atau menjadi kucing garong kah kita? Bisa jd kelakuan kita busuk krn busuk pula cara orgtua kita mencari uang.
Sungguh rizki yg halal, yg diniatkan sepenuh hati utk penghidupan keluarga, selalu mengalir membentuk darah dan daging yg menjadikan anak2 kita sehat, berakhlak mulia, tumbuh dalam rasa cinta dan penghargaan thdp orangtua.
Pahaku untuk Jabatanku
Siapa yg menjilat, dialah yg dapat tempat. Tak habis pikir sehari semalam saya dibuatnya. Bagaimana mgkn paras cantik dijadikan barang dagangan demi meloloskan maksud? Tak masuk di akal sehat. Namun di planet BOROKrasi yg hanya berukuran sebesar botol balsem ini, segala hal dapat terjadi. Dan sdh brg tentu keadilan cuma ada di langit, persis seperti yg Soe Hok Gie bilang. Org kecil macam kita ini bisa apa selain mengerutkan dahi? Sungguh, keadilan hanyalah dongeng pengantar tidur anak2. Barang mahal tak terbeli jika bukan dgn cara menggadaikan kecantikan dan harga diri.
Doa Kecil Buatmu
Hello, memories
Beberapa hal berubah, beberapa masih tetap sama. Dan jalanan ini, tempat yg biasa kita lewati sepulang sekolah. Berjalan beriringan, berselimut tawa, berpisah di persimpangan hingga bertemu lagi esok pagi. 12 tahun lalu, waktu kita masih murid SMA. Ketika kita masih anak OSIS & ikut ekskul mading..