Kamu,
bocah pesisir dengan tubuh ringkih, kurus kering.
Rambutmu
kemerahan, kaku dan bau matahari.
Pukul
sembilan pagi di pasar ikan, tanpa gengsi kau obral hasil tangkapanmu.
Kamu,
lelaki nadir yang menggadaikan seluruh kesenangan untuk hidup yang tak mengenal
kompromi.
Hanya
demi sekolah yang bagimu tak ubahnya barang mewah.
Kamu
yang kebal rasa bosan.
Yang
sakit bagimu hanyalah sejumput ilusi bagi orang-orang pemalas.
Garis
wajahmu tegas, khas remaja yang masa kecilnya dibalut dengan kerja keras.
Pada
kulit legammu, terpahat sajak-sajak kemiskinan.
Namun
hidup bagimu adalah sekedar lelucon.
Maka
tertawakan saja kesulitan yang datang.
Di
sini,
dari
balik toko kelontong milik bapakku, aku belajar mengikhlaskan takdir.
0 comments:
Post a Comment