Ketika menulis ini, saya sedang
rehat sejenak dari pekerjaan besar yang sudah beberapa hari ini saya tekuni. Saya
punya sebuah project yang saya
targetkan akan kelar satu bulan lagi. Saya sangat lelah jujur saja. Tapi ketika
melihat hujan yang reda dan matahari tampak muncul malu-malu, sinarnya
meradiasi energi berlipat ganda ke dalam jiwa saya, dan itu membuat saya
semangat lagi.
Ketika menulis ini, saya memang
sedang memikirkan hujan. Pernah beberapa kali saya katakan bahwa saya mencintai
hujan. Amat cinta. Hanya saja jika ia turun di siang hari dan melelapkan tidur
saya. Atau bolehlah ia turun di sore hari menemani ritual minum teh yang sepi. Deminya
akan saya putarkan kompilasi lagu jazz on
a rainy afternoon. Paduan yang amat memikat.
Tapi saya kesal jika ia membuat
saya basah di waktu saya sedang tak menginginkannya. Ketika ia mengacaukan janji
yang sudah saya buat jauh-jauh hari. Andai saya boleh berandai-andai, maka saya
ingin hujan hanya turun di saat saya sedang mellow. Supaya hidup bisa saya buat
lebih dramatis.
Lalu tentang Jakarta. Ada banyak
sekali mimpi yang saya titipkan di kota ini. Saya seperti tengah berdiri di
ujung garis waktu, menunggu entah apa. Kadang saya merasa hidup itu seperti
sesendok gula yang begitu cepat melarut di dalam cangkir kopi. Di lain sisi, hidup
juga seumpama kereta yang tak kunjung tiba dari Surabaya. Saya merasa sangat
lama. Dan saya bosan.
Seringnya saya bertanya hidup ini
untuk apa. Saya merasa hanya melanjutkan perjuangan nenek moyang yang hidup di
zaman dulu. Jika saya tak pernah diciptakan menjadi manusia, mungkinkah saat
ini saya adalah seekor ayam yang sedang menunggu untuk disembelih? Saya ingin
tahu bagaimana rasanya menjadi seekor binatang. Babi sekalipun.
Saya biasa mencuri dengar pembicaraan
teman-teman yang sangat agamis. Bahwa hiduplah sebaik-baiknya agar kelak bisa
menyicipi surga-Nya. Tidak terlalu tepat redaksi kalimat yang saya pilih, tapi
kira-kira seperti itulah maksudnya. Maafkan saya jika tak pandai berkata-kata.
Jika orang-orang begitu
menginginkan surga selepas mereka mati, maka itu urusan mereka. Saya tak
terlalu menginginkannya. Jauh di atas segalanya, saya hanya menginginkan
pertemuan dengan Tuhan. Itu saja. Karena saya rindu. Pada-Nya ada banyak sekali
pertanyaan yang berkelebat di kepala dan ingin saya utarakan.
Semoga diberi kesempatan.
0 comments:
Post a Comment