RSS

About







Seorang introvert yang kalo ketemu temen/kerabat di jalanan, suka muter jalan lain biar gak papasan karena bingung harus basa-basi apaan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ayah dan nyanyian rindu

Ayahku.. aku tak tau mengapa tiba-tiba aku menjadi begitu rindu. Genap 2 tahun 5 bulan sejak hari di mana aku mencium tangannya, mohon pamit untuk berangkat ke Jakarta melanjutkan sekolahku. Ayah hanya diam waktu itu. Kuhampiri Dia di kamarnya. Dia berbaring seperti biasa dengan lampu kamar yang dimatikan. Aku sempat bertanya di dalam hati kenapa ayah tidak berniat mengantarkanku ke bandara? Dia memilih tidur, padahal ibu sudah bersiap-siap. Dia tidak cerewet seperti hari-hari biasanya. Hanya berpesan satu hal, satu hal yang masih terekam jelas di otakku, supaya banyak-banyak minum air putih selama di Jakarta. Cuma itu, tak lebih. Padahal aku menginginkan lebih banyak kata meluncur dari mulutnya. Tapi hanya itu. Hanya satu pesan supaya anaknya yang sering malas minum dan sering lupa minum sehabis makan ini lebih banyak meminum air putih. Tak ada pesan supaya rajin belajar, tak ada nasehat agar hati-hati dalam bergaul, tak ada wejangan seperti layaknya orang tua memberikan petuah pada anaknya. Hanya soal air putih, dan sebuah pemotong kuku berwarna hijau yang masih kusimpan sampai saat ini yang dia berikan supaya kuku-kuku jelekku ini bisa terurus dengan baik selama di Jakarta.

Ayah, terkadang begitu sulit bagiku untuk menerjemahkan setiap bahasa tubuhnya ataupun setiap perlakuannya padaku. Dia tidak memelukku seperti ayah-ayah lainnya ketika aku berpamitan padanya. Dia tidak mengantarkanku ke bandara karena mungkin akan semakin berat baginya untuk melepaskan anak perempuannya ini. dan dia mungkin ingin berkata banyak hal padaku saat kucium tangannya, tapi semua kata-katanya tersumbat di kerongkongan, takut kalau-kalau suaranya akan bergetar bila kudengar. Hanya soal air putih, satu-satunya kalimat yang dipilihnya sebagai nasehat. Dia seorang ayah, yang kupikir mungkin sangat sulit baginya untuk terlihat sedih di hadapan anak-anaknya. Dia ayah yang tegas, disiplin, keras. Dia tak boleh kelihatan cengeng. Dia harus selalu berwibawa di depan kami, ketujuh anaknya. Saat itu juga kupikir betapa sulitnya menjadi seorang ayah.

kini aku mengerti, atau mungkin berusaha untuk sedikit mengerti bahwa ayah begitu percaya padaku. bahwa dia tak perlu berlebihan dalam mengkhawatirkan keadaanku. Dia tahu persis bahwa aku sudah cukup dewasa untuk bisa membawa diriku sendiri menuju arah yang aku inginkan. Ayah, sehatkah ayah disana? Aku rindu ayah, aku selalu berdoa untuk ayah di sini.

Memoriku kini berputar cepat ke masa bertahun yang lalu. Ada potret masa kecilku, bersama ayah tentunya. Dalam ingatanku yang samar dan timbul tenggelam, kuingat ayah sering mengajariku mengaji selepas maghrib. Ayah yang selalu membuatkan susu dan roti bertabur keju untuk sarapanku. Kata ayah aku orang holland, selalu sarapan dengan yang serba keju. Bahkan ayah selalu membelikan keju berlembar-lembar untuk cemilanku setiap hari. Ayah selalu meraut pensil-pensilku jika sudah tak tajam, menyampul buku-buku tulisku dan buku tulis kakak dengan sampul berwarna cokelat yang sangat rapi. Ayah mengajariku cara membungkus kado, cara mengikat tali sepatu, melipat kertas menjadi perahu, bunga, pesawat, burung, dan lainnya, ayah jugalah yang mengajariku menulis huruf tegak bersambung di buku menulis indah saat aku kelas 1 SD dulu. Ayah menuliskan “Rajin Pangkal Pandai”, “Hemat Pangkal Kaya”, lalu aku menulis 20 kali tulisan yang sama seperti punya ayah, walaupun keindahan tulisan ayah sampai sedewasa ini tidak pernah bisa kutiru. Tulisan ayah rapi, cantik, huruf P kakinya tidak boleh sama panjang dengan huruf G. begitu kata ayah. Aku menurut saja, dalam hatiku selalu bangga punya ayah yang serba bisa.

Jika menjelang hari raya idul fitri, ayah akan membelikanku kembang api yang akan aku gantungkan bersama kakak di pohon-pohon depan rumah kami. Ayah akan menyetrika baju-baju lebaran kami jika ibu terlalu sibuk dengan urusan masak-memasak, bahkan mengeringkan rambutku yang basah sehabis mandi. Dulu tak pernah kupikirkan sedetail ini tentang kebaikan dari ayah kepadaku, kepada kami anak-anaknya. Dalam pikiran masa kecilku, ayah adalah sosok yang ditakuti karena suaranya yang keras, penuh disiplin, segala sesuatu yang terjadi di rumah harus penuh keteraturan, kami tidak boleh salah, harus selalu melakukan semua sesuai aturannya jika tidak ingin kena marah ayah. 

Dulu kupikir hidupku tegang. Perkara makan, tidur dan mandi harus selalu tepat waktunya. Ayah sangat marah jika aku nonton sinetron dan menyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Katanya itu belum pantas untuk anak-anak seusiaku. Ayah akan bersuara keras jika aku jajan sembarangan, kata ayah makanan yang dibuatkan ibu jauh lebih enak dan lebih sehat. Aku terkadang begitu membenci hidupku. tapi kini ketika kutelusuri masa kecilku, kupanjatkan syukur berulang kali atas setiap ajaran baik dan didikan penuh disiplin yang ayah tanamkan kepada kami. Semua itu membentuk pribadi kami menjadi kuat, mandiri, tidak manja dan tidak cengeng.

Ayah, aku rindu setiap sore yang kita habiskan dulu. Ayah memboncengku dan kakak dengan motor dinasnya, membelikan kami coklat dan permen rasa kopi di toko langganannya. Ayah juga membelikan kami pensil, rautan pensil dan penghapus warna warni supaya kami makin bersemangat pergi sekolah. kini, ketika aku menarik satu garis lurus dari masa ketika aku sering memakai peci hitamnya karena aku tak pernah tahu apa jenis kelaminku, aku sadar bahwa waktu telah banyak terbuang. Telah banyak yang jadi kenangan antara aku dan ayah. Ayah, bisakah kita kembali ke masa itu lagi?

Ayah selalu mengambil raportku ke sekolah dan tak pernah mengucap sepatah katapun padaku ketika aku mendapat ranking atau memperoleh nilai-nilai yang bagus. Dia hanya menatapku sekilas yang tak kutahu artinya apa, lalu pulang begitu saja di saat anak-anak yang lain bercerita bahwa mereka akan diberikan hadiah jika rankingnya bagus. Hadiah.. kata itu asing bagiku. Sekalipun nilai-nilaiku yang paling baik, tak pernah ada sesuatu yang spesial untukku. Bahkan pujian pun tak pernah diberikannya. Mungkin ayah tak ingin kami terbiasa melakukan sesuatu karena ada iming-iming hadiah, karena ayah hanya ingin segala sesuatu yang kami lakukan adalah atas dasar hati yang penuh keikhlasan, tanpa mengharap apa-apa. Dia juga tidak ingin memuji kami, terlebih di hadapan kami karena mungkin dia takut kami akan menjadi pribadi yang sombong dan tinggi hati. Namun di lain kesempatan pernah kucuri dengar percakapan ayah dan para kerabat. Ayah bercerita tentang kami, tentang ketujuh anak-anaknya yang tak pernah menyusahkan orang tua dan justru selalu menjadi kebanggaan. Ayah menceritakan itu semua dengan sangat haru, akupun ikut terharu. Tak pernah kusangka selama ini kami begitu sangat bernilai di mata ayah. Indah sekali..

Aku rindu ayah yang selalu membuatkan tugas kerajinan tangan untukku ketika SD dulu. Aku selalu membuatnya dengan asal-asalan, lalu ayah yang memolesnya sehingga bernilai seni tinggi. Ayah yang membuatkan asbak dari tanah liat untukku. Menjemurnya sampai kering lalu mengecatnya dengan cat biru tua, warna kesukaanku. Ayah yang menggambar bunga mawar cantik di taplak mejaku untuk pelajaran menyulam. Lalu mengajariku menusukkan jarum pada gambar tersebut. benang merah untuk kelopak mawar, benang hijau untuk daunnya, coklat untuk tangkai. Cantik dan rapi sulaman dari ayah, punyaku yang buruk pun dipermaknya jadi indah. 

Sekarang ayah semakin tua. Hampir 71 usia ayah saat ini. belakangan aku sering dihantui perasaan takut akan kehilangan ayah. Bahkan aku malah semakin merindukan omelan-omelannya. Aku rindu omelan panjang ayah ketika aku lupa meminum racikan mahkota dewa yang dia buatkan untukku setiap malam. Katanya itu bagus untuk kesehatanku, mencegah jerawat dan membuat kulit lebih halus. Aku hanya terbahak saat ayah mengucapkan kalimat itu. Bagiku begitu menggelitik seorang ayah yang sudah terbilang tua masih memikirkan soal kehalusan kulit putrinya. Tapi itulah ayah. Terkadang dia sangat pandai melucu, tapi terkadang dia bisa menjadi begitu tegas dan keras.

Ayahku, dan segala kebaikan hatinya, segala prinsip-prinsip penuh disiplin yang dia tanamkan kepadaku, akan selalu membekas dalam ingatan. Takkan luntur dimakan usia. Meskipun mungkin suatu saat nanti Tuhan memenuhi janji-Nya, membenarkan bahwa maut adalah milik setiap manusia, memberikan giliran padaku, pada adikku, pada kelima kakak-kakakku untuk merelakan bahwa ayah harus pergi (meskipun bisa jadi kami yang lebih dulu pergi dari ayah), kami akan selalu bangga menceritakan bahwa ayah adalah orang tua kami. Ayah telah berhasil mendidik kami menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan tidak cengeng.

Ayah, apakah ayah masih ingat ketika dulu ayah sering pulang dari tugas dinas di Jakarta, ayah membelikanku oleh-oleh dan meletakkannya di bawah bantalku ketika aku sedang tertidur? Aku senang begitu mendapati banyak mainan dan pernak pernik yang kata ayah diberikan oleh sinterklas, tapi dalam hatiku aku tahu persis bahwa itu ayah yang memberikannya. Ayah, apakah ayah ingat bahwa ayah membuatkan ayunan untukku di bawah pohon mangga? Dan pohon mangga itu pula yang sering berbuat lebat. Dari teras rumah kita, ayah dan aku menghitung jumlah mangga yang sangat banyak menggelantung di pohonnya. Apakah ayah ingat akan semua itu?

Ayah, aku rindu. Tapi aku begitu malu untuk mengatakannya sendiri padamu. Biarlah ia menjadi nyanyian rindu yang sepi , yang hanya aku sendiri yang mengetahuinya. Ayah, aku takut kehilanganmu. Membayangkannya saja membuat airmataku terburai habis. Bisakah ayah tinggal lebih lama di sisi kami? Aku ingin ayah ada di hari wisudaku, di hari pernikahanku nanti, di hari ketika aku akan memberikan cucu yang ke sekian untukmu, ayah. Bisakah ayah? Aku lupa kalau permintaan ini tidak harus tertuju padamu, tapi pada Tuhan. Bukankah begitu, ayah? Baiklah Tuhan, tolong Engkau panjangkan umur ayahku, agar ayah bisa selalu menyaksikan setiap peristiwa penting yang terjadi dalam hidupku. tolong Tuhan, tolong kiranya Engkau kabulkan. Satu lagi, tolong berikan surga untuk ayahku. Dia ayah yang baik, Engkau pasti lebih tahu itu, Tuhan..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS