RSS

Blessed February



Selepas ashar, saya senyum-senyum sendiri.

Bukan, bukan karena gila!

Bukan, bukan pula karena menang lotre!

Tapi begitu banyak nikmat yang dicurahkan bulan februari ini.

Alhamdulillah..

Dikasih duit sejeti sama my elder sister.

Ngumpul lagi bareng geng mucikari setelah berbulan-bulan tak bersua.

Dikasih hotpen sama Ummul yang di labelnya ada tulisan $7.

Dikasih blouse sama Vivi, warna biru pula. Konon tu baju setelah dibeli rupanya kekecilan di badan doi. Seneng deh jadi orang langsing^^

Pas mo beli sepatu di bata, pacar dengan sukacita ikut nyumbangin duit. Tau aja saya lagi kertot. Kere total.

Senen kemaren ada acara makan-makan karena pak direktur mo pensiun. Makanannya enak-enak.

Saya libas nasi dengan sop kacang, tiga lembar dendeng, dua tusuk sate ayam, salad yang bumbunya mirip rujak dan enak banget, tiga biji kerupuk udang, dua potong puding coklat saos vanila, dua potong semangka, dan tak lupa sepotong kecil brownies. Totally delicious!

Tadi dapet oleh-oleh lipstik made in taiwan yang dikasih Pak Sagap. Dari istrinya sih sebenernya.

Blessed February ini mah namanya! Semoga Maret ntar lebih asoy lagi.




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Biar Biarlah~



Banyak dari teman-teman kampus yang sangat meragukan kepiawaian saya dalam memasak. Saya pun tidak begitu paham apakah muka yang sangar, hobi memakai sneakers serta mulut yang sering ngocol memiliki korelasi dengan ketidakjagoan seorang wanita dalam perkara memasak. Barangkali kita butuh seorang peneliti atau paling tidak, seorang mahasiswa tingkat akhir untuk merumuskan hal ini dalam hipotesis-hipotesis skripsinya.

Perkara ketidakpercayaan beberapa teman akan kemampuan memasak saya terjadi saat saya mulai rajin membawa bekal makan siang ke kantor setiap hari. Memang, bekal itu bukan saya yang memasaknya. Sebabnya saya punya seorang relawan di kos yang dengan sukacita bangun pukul empat pagi untuk mengurus segala tetek-bengek mulai dari memasak nasi hingga menumis sayur dan menggoreng lauk. Sebutlah ia bernama Vera. Dan sayang sekali meskipun saya sangat lihai dalam memasak, saya tidak se-rela itu untuk bangun pukul empat pagi hanya demi memasak bekal makan siang. Namun Vera yang baik hatinya dan mancung hidungnya itu sungguh sangat-sangat pemurah. Saya tinggal menyetor dua ribu rupiah sahaja, dan sekotak nasi plus sayur dan lauk menggiurkan tersaji di depan biji mata saya.

Syahdan, atas perkara dimaksud, saya dicap oleh teman-teman yang juga sesama pembawa bekal makan siang di kantor -sebutlah mereka bekalers- sebagai seorang pemalas nan tak tahu memasak. Cih! Padahal andai mereka tahu begitu banyak resep-resep panganan yang telah saya kreasikan dengan sangat sakses. Tapi biarlah.. Biarlah keluarga saya saja yang tahu betapa kerennya saya saat berkutat di dapur. Biarlah.. biarlah hanya nenek saya saja yang selalu menyantap masakan buatan saya dengan penuh puja-puji yang melambungkan saya hingga menyundul-nyundul mahligai langit ketujuh. Orang lain usahlah saya risaukan. Percaya ataupun tidak mereka pada kemampuan memasak saya, saya akan tetap terus seperti saya adanya.

Ah ya! Di suatu siang yang terik ketika saya menyapa kawan seruangan saya, dalam urusan ini sebutlah ia bernama Ucix, saya menanyakan apakah barangkali ia memiliki mixer di kosannya. Heranlah perempuan berkerudung itu, bola matanya seperti hendak meloncat demi mengetahui saya ingin meminjam mixer untuk membuat brownies kukus. Heuuu.. Adakah yang salah jika saya ini memang benar-benar bisa memasak?

Dulu, duluuu sekali ketika saya punya seorang teman dekat lelaki di SMA, dia sempat mengetes saya apakah saya benar-benar tahu bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Ya, nasi goreng. Sebuah makanan paling sontoloyo, paling mudah dibuat bahkan sambil salto dan membaca koran sekalipun. Tapi begitulah. Tampang saya memang tidak didesain untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari handai taulan yang budiman. Saya tidak terlihat seperti orang yang bisa memasak. Bahkan untuk memasak mie instan sekalipun. Namun biarlah, biarlah sendiri bercumbu dengan sepinya malam~

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Merepet



Entahlah, sore bagi saya tak lagi semenarik dulu. Menikmati teh hangat atau sepotong kue berlama-lama sembari mengobrol dari Alif sampai Ya dengan orang-orang terdekat. Sore yang cerah nan ceria kini terganti. Mungkin karena faktor usia, atau barangkali faktor hidup yang semakin banyak menuntut ini dan itu.

Kini sore bagi saya adalah mengejar-ngejar angkot. Jika angkot tak ada, maka dipastikan sore adalah penantian panjang akan bus yang tak kunjung datang. Begitulah. Sore selalu berlumur peluh dan kadang-kadang, diselingi caci-maki. Mengeluhkan polusi, kemacetan, beban kerja, atau perut yang keroncongan. Keluhan memang tak mengubah apa-apa, tapi seperti ada kepuasan jika mulut bisa merepet sana-sini. Seperti bunyi knalpot bajaj yang berisik, mengganggu dan –tentu saja- selalu membakar emosi.

Jika hujan turun di sore hari, maka saya mengomel lebih dahsyat. Mengeluhkan sepatu yang basah, jalanan yang kian macet sehingga shalat magrib terlewat di perjalanan, juga mengeluhkan payung yang sayangnya lupa saya bawa saat itu. Jika cuaca terik, maka saya bersumpah-serapah pada matahari yang tak tahu apa-apa. Mengutuk-ngutuk jelaga kendaraan yang merusak paru-paru, atau pula memendam dongkol bila persediaan tissue dalam tas habis.

Begitulah sore saya belakangan ini. Paling tidak, lima hari dalam sepekan saya sangat gencar menabung dosa. Terutama di waktu sore. Dosa akan mulut dan hati yang tak pernah bersyukur. Dosa akan umpatan-umpatan tak berguna yang selalu menguasai diri jika segala sesuatunya unpredictable, tak tertebak.

Saya lupa. Lupa pada satu hal bahwa mungkin inilah saat-saat terakhir saya menikmati waktu-waktu hidup di Jakarta. Maka jalani saja, arungi saja. Kelak, tak ada lagi kicau-kacau dengan para sahabat, tak ada lagi rasa bosan menanti bus yang tak kunjung datang, tak ada lagi kelebat suara yang menghiasi suasana halte di pagi hari, tak ada lagi rasa mual di dalam angkot, tak ada lagi caci-maki di tengah kemacetan, karena Jakarta hanya tertinggal dalam kenangan.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Katakan yuhuuu pada dunia!




Pagi ini saya awali dengan sesuatu yang tak biasa. Di kamar mandi, saya membilang hal-hal yang telah banyak berubah. Beberapa bulan kemarin saya masih sibuk wara-wiri di kampus. Kuliah, ujian, revisi skripsi, bercanda dengan sahabat, diskusi. Kini fase baru telah dimulai. Sebuah dunia yang menawarkan lebih banyak tantangan, penjelajahan, dan kejutan-kejutan yang tidak tertebak. Dunia kerja yang mempertanyakan, sederas apa saya mampu berlari.

Saya melihat diri saya yang nampak aneh dalam balutan baju formal, khas mbak-mbak karyawati pada umumnya. Melihat cermin, saya seperti ingin terbahak-bahak menanggapi rupa diri. Ah, ternyata saya sudah sedewasa ini. Tak ada lagi sisa-sisa perempuan dekil dengan jeans sobek-sobek di lutut, naik sepeda kesana kemari. Waktu telah mengambil begitu banyak hal yang dulu begitu akrab dalam hidup saya.

Sekarang pukul sepuluh kurang dua menit ketika paragraf ini saya ketikkan. Di radio, lagu-lagu Indonesia tahun 90an mengalun. Memenuhi dada saya dengan buncahan rasa rindu pada masa-masa kecil yang seru. Zaman semakin melangkah maju, namun mendengar radio bagi saya selalu jadi candu.

Hari-hari ke depannya barangkali akan sangat padat. Oleh apa, saya pun tak tahu. Saya hanya berusaha memantaskan diri untuk setiap hal besar yang nantinya akan dititipkan kepada saya, bilamana Tuhan memang berkenan.

Fiuuhh.. Semangat ya untuk masa depan yang lebih baik. Buat saya. Buat kamu juga. 

YUHUUUUU

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS