RSS

Happy Mother's Day, Ma..


Di doa ibuku, namaku disebut
Di doa ibu kudengar, ada namaku disebut
Sekitar pukul sebelas siang di bandara, seorang anak kecil yang saya prediksi berusia tak lebih dari dua tahun sedang dibimbing ibunya menyanyikan lagu ini. Saya yang sedang terkantuk-kantuk seperti disiram dengan seember air es. Sebenarnya lagu ini biasa saja, bagian reffnya hanya mengulang-ulang kalimat yang sama, hanya saja nadanya kadang dibuat sedikit lebih tinggi untuk memainkan perasaan orang yang mendengarnya. Sebutlah saya, yang gampang mewek jika mendengarkan lagu sedih.

Maka tiba-tiba saja gambar mama terlintas, menyisakan rasa sesak yang tidak bisa saya redam. Teringat saat kemarin saya pulang ke rumah, mama masih saja melayani saya selayaknya anak kecil. Membuatkan air hangat untuk saya mandi, menyiapkan sarapan, mencuci tumpukan baju kotor saya. Padahal harusnya saya yang melakukan semua itu untuk mama. Harusnya saya yang mencuci bajunya, membuatkannya sarapan, memijit bahunya yang kelelahan. Sebagai anak, saya selalu merasa gagal untuk membahagiakan orangtua. Sekeras apapun saya berusaha membalas kebaikan mereka, pada akhirnya saya tetaplah anak yang mengecewakan, yang tampak tak meyakinkan untuk mengurus dirinya sendiri, apalagi harus mengurus dua orang tua sekaligus.

Ah.. mama.. Makasih karena selalu membuka seluas-luasnya ruang maaf untuk saya tempati. Makasih untuk tidak pernah merasa jenuh memberikan yang terbaik bagi keluarga. Dan maafkan jika hanya mampu memberikan sedikit dari yang saya punya setiap bulannya.

Saya sadar bahwa sejauh apapun saya berkelana, semegah apapun tempat-tempat yang pernah saya datangi, hanya pelukan mama lah satu-satunya tempat paling menyamankan di dunia ini.

So, Happy Mother’s Day, Ma.. I love you unconditionally..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

I Just Can't Help but Cry


Nama saya Mawar. Lengkapnya, Mawar Berduri Menusuk Hati. Saya lahir di sebuah pulau paling horor di negeri ini. Sebuah tempat yang asing didengar oleh mayoritas masyarakat Indonesia modern. Katakanlah begitu. Saat ini saya bekerja di sebuah instansi abal-abal, tempat segala sumpah-serapah masyarakat marginal dialamatkan. Sungguh saya benar-benar kegerahan. Terlebih lagi, kelakuan para pegawai di kantor tersebut membuat saya selalu memanjatkan doa kecil, semoga Israfil segera meniupkan terompet panjangnya.

Saya tak bisa mengelak bahwa dalam hidup, akan selalu ada orang-orang dengan hati penuh iri-dengki, serta mulut yang penuh caci maki. Jika saja saya diperbolehkan mengintip ke dalam buku diari Tuhan, saya ingin melihat alasan apa yang menjadi dasar pertimbangan-Nya mengirimkan saya ke mari. Apakah ini hukuman atas dosa-dosa masa lalu saya? Ataukah jika ini ujian kenaikan kelas, kenapa bisa demikian beratnya? Saya pasti tidak akan lulus. Dua kali remedial sekalipun.

Nama saya Mawar. Sudah lama saya terbiasa hidup dalam situasi nyaman, penuh semangat kekeluargaan dan rasa saling menghargai. Saya tidak terlatih untuk berada dalam lingkungan dengan orang-orang yang saling menjatuhkan. Tapi, ah tidak! Roda kehidupan sedang berputar ke arah yang tidak mengenakkan. Menggiring saya ke hadapan manusia-manusia berhati culas dengan seribu jenis belati yang siap menusuk saya di bagian tubuh manapun. Dan sialnya, saya justru kaku dalam kepasrahan. Membatu.

Saya benci berada di sini, di tengah-tengah manusia keji. Alih-alih melawan, saya justru mendiamkan. Kenapa? Saya bingung dengan diri saya sendiri. Saya merasa kerdil untuk bersuara. Sekalipun saya tahu saya tak salah.

Tuhan.. Saya tidak pernah berkehendak untuk ada di sini, maka bolehkah saya berlari tanpa harus kembali?





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

I Hate my Job


Betapa menyenangkannya terbangun di pagi hari dan menyadari bahwa kamu adalah dirimu sendiri. Tak ada tuntutan untuk harus bergegas mandi dan berangkat menuju tempat yang paling tidak ingin kamu datangi di dunia ini: kantor. Kamu terbangun dengan rasa gembira, membuat secangkir teh lalu menikmati acara musik favoritmu.

Betapa tentramnya ketika kamu tidak perlu gusar menghadapi hari senin. Kamu tidak perlu mendengarkan ocehan bos yang selalu bilang, kerjamu tidak becus. Kamu tidak butuh siapa-siapa untuk menjadi bos, karena kamulah satu-satunya bos dalam hidupmu. Kamu bebas berrencana, kamu bebas melakukan kesalahan tanpa harus dibayang-bayangi rasa takut.


Betapa menggembirakannya ketika hari-harimu hanya diisi dengan menulis, membaca buku, merawat tanaman di pekarangan rumah, memasak dan membuat kue. Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Menikmati hidupmu, melakukan apapun yang kamu sukai.. Sayangnya saat ini kamu tak punya cukup nyali untuk mengucap selamat tinggal pada apa yang kini tengah kamu jalani, pada apa yang telah memberimu kelimpahan dari segi materi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Malin


Dear M..
Kurang lebih 2 taon gw gak denger kabar tentang lo. Rindu juga rasanya, karena kalo diibaratkan, lo itu Sule dan gw ini Andre. Harusnya kita masih tetep sama-sama, bikin lawakan-lawakan garing buat kita nikmatin sendiri. Tapi sekarang gw gak tau lo di mana. Dan gw juga gak niat buat nyari tau sih. Karena lo udah bentangin jarak yang demikian lebar diantara kita. Maka di titik itu gw tau lo udah gak butuh gw lagi.

M.. kita sering meributkan banyak hal. Dan dalam banyak hal pula gw memaklumi lo. Yang namanya persahabatan itu emang gak selalu ketawa-ketawa mulu. Ada juga saat di mana kita berselisih paham, dan masing-masing dari kita maunya menang. Gw tau itu, dan gw selalu maklum. Gw kenal lo dari jaman kumis lo belum tumbuh. Gw tau siapa mantan-mantan pacar lo. Gw tau sederet kisah-kisah tragis waktu lo diputusin si ABC. Gw kenal lo, sebagaimana lo juga kenal banget sama gw. Gw simpen semua aib-aib lo, dan lo pegang baik-baik semua rahasia-rahasia gw.

Cuman 1 hal M.. Gw kaget saat terakhir kali pulkam dan denger kabar kalo lo sekarang udah jadi Malin Kundang. Sumpah mati gw gak pernah percaya lo sejahat itu sama nyokap lo. Gw gak nyangka cuma gara-gara cewe, lo bisa bikin nyokap lo nangis, lo bisa ngucapin kata-kata kasar yang nyakitin hatinya. Lo tau, M? Kalo lo belom mampu bikin nyokap lo senyum, paling gak lo jangan pernah bikin satu tetespun aermatanya jatoh. Sekarang gw gak tau mesti ngomong apa lagi, lo bener-bener cacat di mata gw. Dan lo bukan M yang dulu gw kenal lagi.

M.. apapun jalan yang lo pilih, itu hidup lo. Lo yang berhak nentuin. Tapi 1 hal yang harus lo inget selalu, lo gak akan pernah jadi apa-apa kalo lo durhaka sama orang tua. Dan semoga lo ngerti apa yang disebut dengan karma.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Beginilah..


Tuhan selalu punya cara romantis untuk menyentil saya ketika saya terlampau jauh keluar dari jalur. Kadang saya sombong lantas menyalahkan takdir. Mempertanyakan begitu banyak hal yang sebenarnya tidak butuh jawaban.

Adalah seorang petani singkong berwajah sendu yang mayoritas giginya sudah tanggal digerogoti usia. Sungguh saya tak sampai hati melihat bagaimana seorang bapak setua itu masih berjibaku dengan ganasnya matahari, untuk menegaskan –entah pada siapa, barangkali untuk dirinya sendiri- bahwa ia masih mampu menghidupi keluarga. Demi harga diri lelaki, dan demi cinta tak berkesudahan kepada anak-istri.

Seorang bapak yang tangannya gemetar memegang pena, yang bahkan sudah lupa pada bentuk goresan tanda tangannya sendiri, memaksa saya untuk berhenti mengutuki takdir hidup. Matanya yang sayu berbicara dalam diam, menceramahi saya dari A sampai Z tentang makna belajar mencintai pekerjaan. Badannya yang kurus ringkih dan hampir bungkuk itu seperti pedang yang menusuk-nusuk pikiran picik saya. Membuat saya sadar, betapa tidak ada jalan yang mudah dalam mengumpulkan rejeki yang halal.

Kesulitan-kesulitan yang saya keluhkan, tak terbanding seujung kukupun dengan tahun-tahun berat yang dilalui bapak tua pemilik kebun singkong ini. Lalu ada yang terjun bebas dari sudut mata saya, butiran bening yang tak kuasa saya tahan. Saya merasa betapa sia-sia waktu yang terbuang karena merutuki jalan hidup yang sudah Tuhan gariskan. Kenapa tidak saya terjang saja semuanya?

Dan lagi, kerutan kulit di punggung tangan pak tua mengingatkan saya pada Ayah. Ayah yang juga semakin menua. Ayah yang hanya bisa saya jumpai setahun sekali. Sungguh saya rindu. Pada hari-hari ketika ayah membonceng saya dengan motor tuanya pergi dan pulang sekolah. Pada suatu malam ketika ayah mengajari saya cara mengikat tali sepatu. Pada tawa girang ayah ketika berhasil membelikan saya duren. Pada cara ayah mengeringkan rambut saya. Saya rindu.

Dan tentang nafkah. Ya, nafkah. Sebuah kata yang dulunya tidak pernah sedalam ini saya pikirkan. Enam huruf yang bagi saya begitu kompleks sebab di situ terselip pengorbanan, semangat juang, kerja keras, guyuran peluh, doa serta rasa sayang yang terbungkus dalam hening. Terkubur lekat di kalbu para pelindung keluarga: ayah-ayah terbaik di dunia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS