RSS

As far as I remember



Otista 2. Toko Kue dan Roti Toshiba. Nasi Uduk kaki lima. Mungkin itu sepenggal ingatan saya tentang kamu. Sudah setahun lebih kita tidak melakukan ritual makan malam bersama. Saya ingat persis selepas maghrib kita janjian bertemu di depan tenda nasi uduk, lalu jalan kaki sama-sama menyusuri otista 3. Menjajal warung-warung sekitar untuk makan bubur ayam, mie ayam, pun kadang-kadang nasi goreng surabaya. Tempat favorit kita adalah di warung mie aceh. Saya selalu pesan ayam bakar yang dada. Lalu kamu seringnya minum fanta yang dikasih susu. Tidak ada yang istimewa dari rutinitas seperti itu. Tapi saya bahagia karena selalu punya teman makan dan teman mengobrol.

Selepas makan kamu akan mengantarkan saya pulang ke kos, melewati toko kue yang selalu kita baui aromanya dengan syahdu sambil menerka-nerka kue apa yang rasanya paling nendang. Hanya menerka, tanpa pernah sempat untuk membeli apa-apa. Di perjalanan pulang kamu selalu bilang sama saya, betapa suatu saat kita akan merindukan momen-momen seperti ini. Dan ya! Tepat malam ini saya merindukan momen itu.

Tadi selepas magrib, ketika cacing di perut saya meronta-ronta minta jatah makanan, yang terpikirkan di kepala saya hanyalah nasi uduk kaki lima yang menyediakan ayam goreng. Saya melewati jalan otista 2, mereka-reka kejadian saat dulu kamu pegang tangan saya, lalu sambil terkekeh-kekeh kamu bilang kalo kamu suka dengan wangi saya, wangi permen. Saya lewat di depan toko kue, lalu teringat saat kita jalan sore-sore ke taman simanjuntak sambil makan kue paling murah yang bisa kita beli saat itu. Dan tibalah saya di tempat nasi uduk. Duduk seorang diri. Padahal dulu kamu juga duduk di sini, di sebelah saya. Sibuk dengan tahu goreng kesukaanmu.

Entah kenapa ada bintik bening di ujung mata mengenangkan itu semua. Semoga abang-abang penjual nasi uduk tidak menangkap basah saya yang tersedu sedan diam-diam. Saya didera sedih yang panjang ketika serpihan-serpihan kejadian bersama kamu berputar-putar dalam kepala. Dan kamu tidak di sini. Tidak lagi mengomel jika saya menyisakan makanan di piring. Tidak lagi memakan sisa makanan saya. Tidak lagi memesankan es jeruk buat saya. Tidak lagi menggandeng tangan saya sembari bilang, “gue pengen selalu bareng elu”.

Waktu saya sedang berduka dengan nilai ujian saya yang terjun bebas, kamu tiba-tiba dateng dan ngasih saya buku AKU. Iya, buku AKU-nya Sjuman Djaya yang kayak punya Rangga di AADC itu. Pernah saya bilang saya pengen baca buku itu tapi gak tau cari di mana. Lalu tiba-tiba buku itu ada di depan biji mata saya. Waktu itu kamu sms: Gw pengen nyenengin lu tp gak tau gmn caranya. Trus gw keinget buku yang lu pengenin itu. Gw cariin, untung blm terjual, cm ada 1 soalnya. Mudah2an bener bukunya. Hehe.. See? Dulu kamu begitu pandai menetralisir hati saya yang lagi sendu.

Jika ada dulu, maka ada pula sekarang. Dan sekarang saya berdiri di tepian kalimat ini, mempertanyakan semua kata-kata indah yang pernah dengan manisnya kamu sodorkan pada saya. Hampir empat tahun berlalu, dan saya seperti belum mengenal kamu sepenuhnya. Kenapa kamu selalu tidak pernah bisa tertebak? Saya lelah menerka-nerka, seberapa penting arti saya buat kamu. Barangkali saya hanyalah teman menonton di bioskop, teman mengobrol saat kamu tak tahu harus berbuat apa dalam perjalanan naik kereta menuju kampus kamu di Depok. Atau barangkali saya hanya sekedar teman ber-haha-hihi. Tidak pantas menjadi seseorang yang bisa kamu pamerkan ke teman-teman kamu yang serba keren di UI sana. Tidak pantas mendapat gelar penting di hidup kamu. Tidak tepat untuk kamu ajak menjalani sesuatu yang serius di sebuah tempat antah berantah bernama masa depan.

Ya, bisa jadi saya hanyalah seorang tamu yang mampir sebentar ke rumah yang kamu sebut hati. Bisa jadi saya terlalu memposisikan diri saya sebagai orang penting, nyatanya saya tidak sepenting itu bagi kamu.

Malam ini saya menangis untuk sebuah urusan paling konyol bernama cinta. Hati saya porak-poranda. Bahkan gunungan tissue penuh ingus kini berserakan di lantai kamar. Hahaha. Tu kan saya dungu?!!! Saya selalu menjadikan kamu prioritas, selalu menempatkan kamu di orbital pertama hati saya. Tapi bagaimana dengan posisi saya di hidup kamu?

Ah.. Sejauh yang saya ingat, mencintai tidak pernah semenyakitkan ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kalian..


Kalian seperti gerimis

seperti venus

seperti lazuardi

seperti pelangi..

Kalian adalah sastra sepanjang masa.





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mengintip Awan






Siang tadi, dari balik jendela di lantai enam, saya mengintip langit lekat-lekat. Di luar sedang sangat terik, tapi hembusan AC di ruang kerja cukup memberikan rasa nyaman. Maka saya duduk menopang dagu, memperhatikan gulungan awan yang berderet-deret di arah barat. Saya seperti tengah mengulang kebiasaan di masa kecil. Takjub melihat awan yang bergerak pelan-pelan, lalu sibuk sendiri menerka-nerka bentuknya. Ia kebanyakan berbentuk seperti monster, tapi adapula yang berbentuk es krim. Membuat saya terkekeh-kekeh sendiri. Saya tersadar, betapa imajinasi selalu menjadikan diri kita kaya. Dan bahagia.

Lalu saya tiba-tiba rindu menjadi anak-anak (lagi)..



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mengurai



Saya tak pandai mengurai kata. Dan kamu, selalu tak pernah bisa saya baca.

-elvy

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Beruntungnya Menghabiskan Masa Kecil di Pelosok


Menghabiskan masa kecil di pelosok nun jauh di timur Indonesia merupakan suatu hal yang selalu saya syukuri. Tak masalah dengan betapa terbatasnya fasilitas, betapa sederhananya kehidupan, betapa jauhnya kami dari segala hal yang berbau kecanggihan, masa kecil saya dibumbui dengan sedikit duka dan banyak sekali bahagia. Saya mensyukuri masa kecil yang indah, sama halnya seperti saya mensyukuri kesehatan dan kewarasan yang Tuhan berikan.

Petang ini, ketika suara adzan diperdengarkan dari masjid yang tak jauh letaknya dari kosan, memori saya melayang ke belasan tahun silam, dan film-film pendek akan cetak masa kecil secara random berputar dalam kepala. Saya seperti terhipnotis daya magis dari suara adzan, seolah saya sedang mendengar suara adzan yang sama di kampung halaman dari Masjid Nurul Iman, dan seluruh bocah bau keringat berlarian menyudahi permainan, pulang ke rumahnya masing-masing. Saya termasuk dari gerombolan bocah-bocah itu. Magrib, bagi kami anak-anak udik, selalu menjadi pertanda untuk menarik diri. Begitulah yang orang tua kami ajarkan. Entah kenapa, omongan orang tua tentang “banyak setan mulai berkeliaran di waktu magrib” selalu kami telan bulat-bulat. Umumnya, anak kecil –sekeren apapun dia- selalu mudah didiamkan dengan cerita setan.

Maka begitulah, petang ini saya habiskan dengan menjenguk masa lalu. Beruntung rasanya pernah menjadi bagian dari anak-anak pedalaman yang mencicipi serunya bermain air di sungai, memanjat pohon kersen dan berbagi buah-buah mungil itu dengan para sahabat, menyulap tanah liat menjadi kue-kue coklat yang lucu berbentuk hewan dan bunga. Tentu saja karena saya telah menyelundupkan cetakan kue milik ibu saya sewaktu beliau sedang tidur siang sehingga terciptalah permainan membuat kue dari tanah liat. Nakal, tapi sangat menyenangkan.

Dewasa ini, mendapati anak-anak kecil dengan sebuah gadget canggih bernama tablet di tangannya, saya merasa seperti telah begitu jauh ditinggalkan oleh zaman. Seperti ada perasaan ganjil, antara iri dan mengasihani. Iri karena semasa saya kecil, saya tidak pernah bersentuhan dengan teknologi selain ikut memainkan nintendo milik abang saya. Lalu saya kasihan, karena anak-anak itu pastilah tidak punya hal menarik untuk mereka kenangkan saat dewasa kelak. Mereka tidak tahu apa itu buah kersen, mereka tidak memetik bunga-bunga liar untuk dijadikan bando ketika bermain adegan menjadi permaisuri, mereka tidak naik perahu milik para nelayan lalu tertawa-tawa dengan para sebaya mengumpulkan kerang dan ikan-ikan kecil di laut. Mereka tidak merasakan itu. Merasakan kenikmatan dibesarkan oleh alam, berenang di laut sampai kulit gosong, menggelayut dari pohon satu ke pohon lainnya, bermain benteng, kasti, kelereng, petak umpet, dan permainan-permainan tradisional yang diciptakan oleh anak-anak kampung miskin untuk mengobati kepedihan hati mereka.

Sejauh ini, saya bahagia atas masa kecil yang setiap kali saya kenangkan, maka buncahan rasa rindu, haru dan gembira menjalar-jalar di sepanjang rongga hati. Saya beruntung terlahir di daerah pesisir nun jauh di Timur Indonesia. Merasakan segala hal yang sederhana dan biasa saja bisa menjadi demikian indahnya. Dulu saya belajar berenang bersama para sahabat setiap sore di laut di saat anak-anak zaman sekarang belajar berenang dengan didampingi seorang coach di kolam renang cantik yang dulunya hanya saya saksikan di televisi. Dulu saya berburu buah-buahan hutan yang entah kenapa terasa nikmat di lidah tatkala kini anak-anak zaman sekarang tinggal merengek ke orang tua melihat buah pir atau anggur di supermarket. Dulu saya menyanyikan lagu-lagu Maissy atau Sherina sedangkan anak-anak zaman sekarang menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang sarat akan hal-hal berbau cinta. Bahkan dulu pun saya tak paham apa arti kata cinta.

Masa kecil yang seru dengan hal-hal sederhana dan serba apa adanya itulah yang membentuk mental dewasa saya. Orang tua saya, dan orang-orang tua lainnya di masa lalu mengajarkan anaknya untuk lebih produktif, untuk menciptakan permainannya sendiri tanpa mengeluarkan sepeserpun biaya. Kami menciptakan mobil-mobilan dari kulit jeruk bali, menciptakan mainan tembak-tembakan dari bambu yang pelurunya didapat dari buah jambu air yang masih muda dan kecil-kecil. Anak-anak zaman sekarang memainkan hal-hal yang serba konsumtif, canggih dan mahal. Mereka tidak lagi bermain di sungai karena sungai telah kotor dan tercemar, mereka tidak bisa bermain kelereng di tanah lapang karena kini semua tanah sudah digunakan untuk pembangunan dan pemukiman. Yang kini tersisa bagi mereka adalah sebuah kamar dengan design interior yang mewah, laptop di atas meja belajar dengan fasilitas internet 24 jam, tablet untuk bermain game angry bird, dan segala kemewahan lainnya yang tidak pernah saya rasakan semasa kecil dulu.

Zaman telah berubah. Banyak hal yang kini tidak lagi mudah saya cerna dan mengerti termasuk mengapa orang tua saat ini begitu memanjakan anak dengan segala fasilitas. Barangkali malu jika anak lain punya ini-itu sedangkan anaknya tidak. Betapa malangnya anak-anak itu karena tidak merasakan kemewahan bermain air di sungai atau mengumpulkan buah-buahan hutan.

Petang ini, ketika adzan magrib sudah sayup terdengar, saya memanjatkan rasa syukur tak terkira di dalam hati kepada Tuhan karena telah menganugerahkan masa kecil yang begitu semarak kepada saya. Ketika adzan magrib menarik kami anak-anak kampung udik untuk pulang dan menyudahi permainan, anak-anak zaman sekarang hanya akan menyudahi permainan ketika baterai di tabletnya habis. Lucu, tapi itulah kenyataannya. Saya tersenyum, menyadari betapa beruntungnya saya terlahir di sebuah tempat antah berantah dan menghabiskan masa kecil di tahun 90an. Segala keriangan ada di sana, segala suka cita berasal dari sana, dan tatkala saya jenuh dengan kehidupan saat ini, saya cukup menjenguk kembali masa lalu dan merasakan betapa beruntungnya menghabiskan masa kecil di pelosok dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan.

Terima kasih, Tuhan :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS