RSS

Dia



Pada ingatan. Pada kenangan. Pada apa2 yg membuatnya ingin selalu menengok ke belakang.

Biarkan sekali ini saja. Dia tumpahkan sederas-derasnya tangisan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku dan Sepeda Ayah


Pagi itu seperti biasa, seperti minggu pagi yg sudah2. Ayah akan memboncengku naik sepeda, melewati 4 persimpangan hingga tiba di ujung dermaga. Sebentar saja. Tak lebih dari 20 menit. Asal aku dapat mendengarkan cerita tentang kebijaksanaan burung2 nokturnal. Atau tentang para cacing yg baik hati. Tentang hidup yg beliau kisahkan dalam bahasa2 sederhana namun indah. Dalam puisi2 khas pria setengah baya yg tidak tamat SMP.

Pukul 7 nanti kami mesti kembali ke rumah. Begitu selesai sarapan, ayah sudah harus berangkat kerja. Mengayuh becak sekuat yg beliau mampu agar periuk nasi kami tetap terisi. Dan agar aku bisa terus sekolah. Belajar sekeras kayuhan pedal becaknya agar aku dapat menghidupkan mimpi masa kecil ayah: sekolah di Inggris. Bergetar dadaku mendengar cita2 maha dahsyat itu. Sedang cita2ku teramat sederhana dan standar, khas anak lelaki pada umumnya. Menjadi polisi, karena menjadi power ranger amatlah tidak mungkin. Tapi aku tak pernah sekalipun mengatakannya pada ayah. Bagaimana bisa aku melukai hatinya? Meski aku tahu sekolah di luar negeri terlalu berlebihan untuk bocah kampung miskin sepertiku. Tak akan pernah tergapai. Namun bagi beliau, bagi ayahku yg pernah putus sekolah karena terbentur biaya, setiap tetes keringatnya adalah aliran deras air sungai yg mengantarkanku menuju laut. Menuju masa depan penuh pengharapan. Aku harus meneruskan mimpinya. Aku tak ingin ayah kecewa.

Tak seperti biasa ayah belum bangun sesiang ini. Pukul enam. Ibu sudah sibuk di dapur. Tapi ayah tak kunjung bangkit dari tempat tidur. Apakah ayah membatalkan janjinya secara sepihak? Adakah beliau marah karena nilai bahasa inggrisku tidak sembilan seperti semester lalu? Aku tak tahu. Kuhampiri beliau di kamarnya. Beliau nampak lelah terkujur di kasur. Kupanggil namun tak ada jawaban. Aku coba menepuk2 lengannya, barangkali beliau akan bangun dan minta diambilkan air putih. Hening. Kuguncangkan tubuh kurusnya dan saat itu aku tersadar dalam kenyataan yg paling memilukan. Ayah tak akan pernah lagi terbangun dan memboncengku dgn sepedanya. Beliau telah pergi. Meninggalkan aku dan ibu dalam tanda tanya akan hari esok.

Langit seperti runtuh menimpaku. Dan badanku jatuh terkulai dalam jerit yg meneriakkan satu nama.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS