RSS

I love Jakarta

Saya mencintai Jakarta yang panas. Mencintai gedung-gedung megah menjulang tinggi yang selalu saya amati dari balik kaca bus transjakarta. Saya mencintai kerasnya hidup di Jakarta yang membuat saya selalu menengok ke bawah, mensyukuri bahwa Tuhan masih begitu mempercayai saya untuk membagikan sedikit saja dari rezki-Nya. Jakarta kejam, kata orang. Ah, tidak juga! Dibalik dominasi sifat individualistis yang melekat pada masyarakatnya, toh masih ada saja orang-orang baik yang saya temui. Kebaikan manusia itu memang relatif. Tentu berbeda sesuai perspektif masing-masing orang. Biarlah! Yang saya tahu, begitu banyak orang-orang baik yang saya temui di kota asing ini. mengingatkan saya pada keramahan dan sikap santun orang-orang nun jauh di tempat kelahiran saya. Dua ribu tiga ratus delapan puluh sembilan kilometer dari tempat saya berdiri saat ini..



Jakarta

Ambon



Secantik apapun Jakarta dengan Mall-mall mewahnya, saya tidak akan melupakan kota kecil tempat saya berasal. Perahu dan lautnya, sungai-sungai dengan air sedingin es, awan bersih yang selalu menggantung di langit, udara segar yang memanjakan paru-paru, suara teriakan anak-anak yang berenang di pantai, halaman rumah yang luas dan penuh pepohonan, roda-roda sepeda yang tak berhenti berputar, suasana sore yang hangat dan bersahaja.. Mana mungkin saya melupakannya?

Saya cinta pada Jakarta, tapi perasaan itu tidak akan pernah menghapus kerinduan saya pada kampung halaman. Di sana ada keluarga, kerabat, sahabat, para guru, kenangan, mimpi-mimpi, jati diri dan semua rasa sayang yang bertumpuk-tumpuk di dalam hati..

Eventhough this maybe a nice place to live, it's not home where my family is


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mencari Tulus

Aku menemukan diriku yang terbaring dalam sakitnya menahan rindu yang menggebu, lalu komat-kamit kulayangkan doa pada yang Maha Mengabulkan, semoga masih ada waktu dan ruang untuk kita bertemu, membenamkan kepala di sisi pundak kirimu, merasakan jari-jemarimu yang hangat membelai rambutku sembari membisikan lamat-lamat di telingaku, “aku sayang kamu”..

Dan sesederhana itu saja aku akan mengusap airmataku, menyadari bahwa aku tak perlu mengarungi separuh dunia hanya untuk menemukan seonggok ketulusan yang sudah lama aku cari..





Semuanya.. semuanya yang tulus berasal darimu..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

corazón

Apa kabar hati?

Sudah lama saya tak berbincang dengannya, menyusuri tiap ruang yang ada di sana. Seperti melakukan inspeksi mendadak, mengecek satu persatu bilik yang telah lama saya acuhkan. Ruang-ruang manakah yang masih terisi, mana yang kian berdebu, mana yang tak lagi terurus..

Di persimpangan hati, saya menemukan sebuah bilik yang sesak. Saya mengaduk-aduk setiap isi yang ada di sana dan tumpah-ruahlah segala bentuk perasaan sayang, rindu, haru, sendu, malu, ragu, serta kegalauan yang kian membiru.. 

Harus bagaimana saya mengatakan pada diri bahwa saya dilema, bahwa saya enggan untuk memilih, bahwa saya telah lama menzalimi hati. Saya bodoh! Apakah yang saya pikir benar adalah memang sebenar-benarnya kebenaran?

Hmm.. rupanya hati yang gaib itu kini sedang berlumuran darah.. maka biarkan saya berlari mencari penawar rasa sakitnya..

meski entah di mana..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Metromini

Ada romantika tersendiri ketika minggu lalu, hampir setiap hari saya bolak-balik ke rumah tante menebeng metromini 46 dari kampung melayu menuju utan kayu. Di dalam kendaraan berbentuk persegi panjang yang didominasi warna jeruk itu, sedikit banyak saya bermetamorfosis menjadi seorang melankolik, sebuah sisi paling absurd yang dimiliki oleh diri saya yang sebenarnya lebih sering tampil sebagai perempuan HERI, heboh sendiri!! Bagaimana tidak, metromini menawarkan pelajaran hidup sederhana yang membuat saya gamang. Ini tentang pengamen, kawan. Tentang makhluk-makhluk dekil yang lincah melompat dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya untuk membagikan apa yang mahasiswa IKJ sebut sebagai seni, yang kata mahasiswa ekonomi lebih pantas disebut sebagai korban kapitalisme, yang mungkin disebut oleh mahasiswa FISIP sebagai perbedaan strata sosial, yang sering menjadi bahan celaan mertua kaya raya apabila anaknya jatuh hati pada sesosok pengamen, sesosok kaum marginal, tentulah ini umumnya terjadi di sinetron-sinetron murahan. Oh tidak! Tentu saya bukan pecinta sinetron. Tapi semua tau kualitas cerita sinetron di stasiun televisi negeri ini bukan? monoton! Semua sudah tau kan? Tau? Ah sudahlah! Kenapa pula jadi membicarakan soal sinetron? Kembali lagi soal pengamen, soal musisi jalanan, soal pelajaran hidup apa yang saya petik dari keseharian mereka, maka saya sangat ingin mengupasnya melalui kacamata filsafat (biar terlihat keren), tapi ilmu saya belum sampai ke sana. Karena itu biarlah saya bercerita sebagai diri saya saja (?) dengan pengetahuan saya yang memang hanya secuil ini..

Aih, saya merasa intro dari tulisan ini terlalu berbelit-belit. Ibarat dari Senen menuju Melayu yang bisa ditempuh melewati Salemba, saya malah berputar-putar ke arah monas dulu. Sangat repot sekali. Dan menyebalkan (mungkin). Tapi otak saya memang sangat kompleks seperti benang yang berpilin-pilin. Pikiran saya terlalu sering meloncat dari satu scene ke scene lainnya, tidak terkontrol. Maka tolong ajari saya mengendalikan pikiran ini. oh tidaaaakk!!

Saya akui sangat jarang saya bepergian dengan menumpang kendaraan umum seperti angkot, metromini dan kopaja. Saya lebih prefer pada kendaraan seperti taksi dan bus transjakarta dengan alasan norak bahwa di dua kendaraan itu menyediakan AC sehingga ketek saya tetap kering sepanjang hari. Oke,, tapi entah kenapa saya mulai jatuh cinta pada metromini. Bukan karena saya menyukai warna oranyenya yang ngejreng, tapi karena di sana ada pengamen. Salah satu sumber hiburan saya, salah satu kegiatan memperhatikan tingkah laku mereka yang membuat saya selalu berpikir dan berpikir untuk melatih otak agar terhindar dari bahaya alzhaimer. Ya, ini lebay! Saya suka pada pengamen. Sebagian dari mereka sangat sopan, sebagian dari mereka selalu mengucapkan salam, mereka mengucap terimakasih –entah dengan perasaan dongkol ataupun tidak- sekalipun tidak ada recehan yang dimasukkan ke dalam kantong-kantong yang mereka sodorkan. Kadang suara mereka melengking indah, membuat hati saya sesekali berdesir. Namun tidak jarang pula ada yang bernyanyi seperti orang kumur-kumur. Tapi terlepas dari itu, saya melihat mereka begitu menikmati apa yang mereka kerjakan. Jiwa mereka adalah dari gitar-gitar tua itu, dari ukulele jelek yang dipetik oleh jari-jari penuh kuman itu, dari gendang seadanya yang mereka tabuh lalu menghasilkan harmonisasi indah yang acapkali membuat saya terkagum-kagum.. ah, pengamen itu adalah pribadi-pribadi yang sangat kreatif. Mereka dapat membuat apa saja menjadi alat musik, sebagian dari mereka tetap bernyanyi dengan penuh penghayatan, tak peduli jika metromini mengerem tiba-tiba, tak peduli bagaimana suasana hati mereka, tak peduli apakah recehan-recehan itu bisa digunakan untuk makan teratur sehari tiga kali, tak peduli jika bisa saja uang-uang itu akhirnya habis juga dilahap oleh para preman. Atau selepas mengamen nanti, uang-uang itu haruslah disetorkan lagi kepada big boss, orang-orang yang membawahi komunitas pengamen (mungkin). Mereka bekerja tanpa keluhan dijerang sinar matahari, dihantam dinginnya hujan. Mereka kuat, mereka bekerja keras, mereka bahkan tidak pernah menyalahkan takdir. Padahal di belahan bumi yang lain, saya menemukan diri saya yang sangat tidak bersyukur, yang sering mempertanyakan mengapa ini dan itu harus terjadi, yang selalu saja menggerutu pada tiap kesulitan yang saya temui, yang masih belum bisa belajar mencintai pekerjaan yang telah dijanjikan kepada saya, yang selalu mengerjakan tugas dengan asal-asalan, yang selalu malas-malasan dalam menulis skripsi. Saya menyedihkan! Jarang sekali bersyukur. Selalu merasa kurang. Selalu bersungut-sungut. Apakah Tuhan masih kurang Pemurah? Saya malu, malu kepada para pengamen itu, malu kepada diri saya sendiri.

Tidak banyak kata-kata yang bisa saya tuangkan ke dalam tulisan tak jelas ini. Saya hanya ingin menandakannya agar saya tak lupa untuk selalu bersyukur, bersyukur yang bukan hanya melalui lisan, tapi bersyukur yang benar-benar dari hati.. Semoga Tuhan selalu menuntun saya menjadi pribadi yang sederhana, yang rendah hati, yang peduli pada sesama..

Aamiin.. aamiin.. allahumma aamiin..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

abu-abu

Entah nanti menyemai gembira. Entah nanti harus pelan-pelan mengobati luka. Acapkali saya berusaha untuk meringkuk lebih lama pada sisi abu-abu, menemukan banyak sekali kemungkinan dengan rentang peluang dari nol sampai dengan satu. Bahwa pada suatu masa -suka atau tidak suka- kita harus sama-sama saling merelakan untuk tak lagi beriringan. Memarjinalkan diri barangkali. sebab pada kita terdapat banyak sekali perbedaan. maka saya harus menepi sebentar. melucuti satu persatu serpihan rasa sayang yang pernah mengkristal di dalam hati. Bahkan sebenarnya saya sendiri pun tidak paham di mana letak hati yang menyimpan banyak rasa itu. Di rongga perut sebelah kiri-kah? di dalam dada-kah? yang saya mengerti hanyalah hal sederhana, bahwasanya Tuhan pernah memberikan seseorang untuk saya kasihi, untuk saya perhatikan, untuk saya bahagiakan sebisa yang saya mampu.. dan saya tidak ingin menyesali perpisahan pada masanya nanti. bukankah seperti itulah hakikat dari kehidupan yang hanya sebentar ini? ada yang datang, lalu ada pula yang pergi. ada yang menyakiti, lalu ada pula yang mengampuni. ada pertemuan, pasti juga akan ada perpisahan.


Maka saya teramat percaya bahwa masing-masing dari kita akan mendapatkan yang jauh lebih baik. Karena sebagaimana yang Dia katakan dalam surat cinta-Nya, laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik pula.. jadi apa yang perlu kita cemaskan? Dia selalu punya jawaban atas segala pertanyaan yang sesak bertumpuk dalam pikiran..



*memikirkanmu di suatu petang sambil mengalunkan lagu Tokyo-YUI*

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS