RSS

Menangisi Kemiskinan Negeri


Saya sering takjub pada bagaimana cara pendidikan mengubah kehidupan seseorang, membebaskannya dari kutukan kebodohan akut dan mengantarkan pada ruang bersinarkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Adalah ironi kemudian, melihat anak2 seumuran keponakan saya hidup tak tentu arah, tak tersentuh pendidikan entah karena malas memeras otak, atau karena bangku sekolah memanglah barang mewah yg tak terjangkau dompet para orangtua.

Banyak kegamangan yg saya saksikan selama dua bulan penuh berjibaku di lapangan. Meninggalkan rutinitas kantor dan pekerjaan monoton di atas meja, lalu terjun langsung melihat betapa di pedalaman Maluku, Indonesia belumlah sepenuhnya merdeka.

Kisah pilu kehidupan para wanita tercatat rapi dalam tabel2 kuesioner kuning. Miris melihat di rumah sereyot itu mereka membesarkan anak berderet2. Ada yg lahir lalu meninggal, lahir lagi dan meninggal lagi, hingga tiga-empat kali. Beberapa wanita menanti lebih dari satu dekade, memimpikan seorang anak yg tak kunjung hadir melengkapi kehangatan rumah tangga. Beberapa dgn lantang menolak ber-KB, memproduksi anak dalam jumlah banyak lalu tercekik sendiri oleh kesulitan memberi nafkah dan penghidupan yg layak. Ujung2nya? Memaki pemerintah karena bantuan duit tak kunjung tiba. Siapa yg salah?




Setiap malam sebelum memejamkan mata, di atas kasur tipis yg dipakai utk tidur berhimpit2an di rumah warga desa macam ikan asin, ketika hawa dingin menyergap, saya disergap pula oleh satu perasaan bersalah tentang apa saja yg telah saya baktikan pada tanah ini. Maluku, kampung halaman saya, tanah yg menghidupi saya, tangis dan tawa yg menggenapi perjalanan hidup saya. Sungguh saya benci melihat kemiskinan yg diwariskan turun temurun di pedalaman negeri ini, sama halnya seperti saya benci melihat anak2 usia SD yg belum terakses oleh pendidikan bermutu. Saya bisa apa?

Pemda bolehlah bicara soal kekayaan alam berlimpah2. Tentang laut yg ikannya ramah menari2 minta dijaring. Tentang bagaimana mgkn kita selalu memegang piala berukirkan kata2 manis sebagai provinsi termiskin, sedang benih2 kelimpahan sumber daya alam tersebar di sepanjang tanah yg kita pijaki. Barangkali statistik telah salah mengukir grafik2. Barangkali orang2 yg bekerja di kantor dua lantai itu telah mengetik angka2 sambil menguap lebar hingga membuat kesalahan fatal. Tak tahulah saya mengapa bisa begitu. Tapi mari tuan tengoklah dulu nun di situ, di desa Wolu, dusun Masihulan, desa Elnusa, Pulau Kiltai dan Kilwaru, Pulau Geser, Desa dawang yg jaraknya hanya sepelemparan batu dari ibukota kabupaten Seram Bagian Timur. Laut ada di mana2, ikan dan cumi tak pernah susah dicari, namun intiplah ke meja2 makan mereka, apakah ada lauk di sana? Apakah mereka menerapkan empat sehat lima sempurna dalam pola makan mereka? Biarlah saya jawab sepenuh hati: tidak sama sekali.

Pada akhirnya, saya hanya bisa meracau dan mengutuk2 tanpa tahu apa yg harus lebih dulu saya benahi. Manalah mungkin saya yg kurus ceking dan seorang staf abal2 di kantor pemerintah ini bisa mengubah kehidupan orang banyak? Saya hanyalah setitik debu di kaca spion motor. Tak terdeteksi. Maka besar harapan agar seseorang turun dr langit lalu mengubah tatanan ganjil ini, hingga tak perlu lagi ada tikus yang mati di dalam lumbung padi. Semoga saja.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS