RSS

Baru Bisa Bersyukur Setelah Liat Orang Lain Susah


Malam ini, dalam remang lampu kafe di meja paling pojok, saya merenungi hidup. Banyak hal terjadi belakangan ini. Banyak hal membuat saya bukan lagi saya yg kemarin.

Biarkan secara random saya bercerita.

Beberapa hari lalu saya mengurus perpanjangan SIM. Singkatnya, ada masalah sehingga perpanjangan SIM saya ditolak. Entah gimana. Tapi setengah jam berselang ketika saya udah lemes dan memutuskan untuk pulang, ada seorang polisi nyamperin. Dan bilang kalo dia akan bantu saya. Bantu yg benar2 tulus tanpa imbalan. Sejam kemudian saya dapat SIM yg baru. Dalam hati saya bilang, Allah itu beneran Maha Baik ya. Terus terngiang2 dalam otak saya gimana cara Tuhan bekerja. Dan gak lupa saya doakan berupa2 kebaikan utk pakpol yg sudah bantuin saya ini.

Kemaren, saya nonton film Five Feet Apart dan tersedu sedan menyadari betapa beruntungnya saya atas kesempurnaan hidup yg sudah Tuhan kasih. Di saat orang lain terlahir dengan penyakit dan cobaannya sendiri2. Ada yg putus asa. Ada yg memilih menyerah. Ada yg berjuang keras meski tau harapan hidupnya hanya sedikit. Lalu saya, yg punya segalanya ini terkadang justru abai dalam mensyukuri kesehatan dan kecukupan yg sdh saya punya. Parah sekali saya ini.

Semalam saya makan berdua dgn seorang teman lalu berbagi cerita. Tentang temannya teman saya yg baru saja nikah tapi dia dan suaminya belom punya pekerjaan yg tetap. Sampe cewenya skrg sakit gara2 hamil dan harus rawat inap, mereka bener2 gak punya uang dan harus minjem ke orangtua. Padahal dalam kacamata saya, mereka ngadain pesta nikah kemaren lumayan mewah. Dekornya bagus. Tamunya banyak. Seragam bridesmaid juga keliatan mahal. Uang dari mana ya? Mgkn sumbangan ortu dan keluarga. Terserah mereka sih. Tapi setelah acara resepsi yg super megah itu, suami istri memble karena terjepit masalah duit. Lalu kebingungan ke depannya harus gimana.

Hufffttt. Nikah tu gak asal maen nikah aja maifren. Butuh perencanaan yg matang. Dan saya jadinya setelah melihat kemalangan orang laen baru bisa bersyukur. Bersyukur karena nikah benar2 pakai biaya sendiri hasil kerja keras kami berdua. Dan setelah nikah, duit gak abis total karena masih bisa beli rumah. Dan tentu, kami sama2 punya pekerjaan tetap yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun untuk bantu2 keluarga. Allah itu benar2 baik sama saya. Sama cowo saya. We're so blessed.

Sekarang, saya mulai mencoba menjalani hidup dengan lebih positif. Untuk gak terlalu mengeluh tentang kekurangan saya yg banyak di sana sini. Tapi justru mulai menghitung berkat yg setiap harinya Tuhan kasih. Semoga saya terus bertumbuh menjadi lebih baik, meski masih jauuuuuh sekali dari kata baik, apalagi sempurna. Doakan saya ya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hopeless


Kenanganku ttg papa adalah saat beliau pulang tugas dari Jakarta. Umurku 4 tahun kala itu. Masih TK. Dan aku dibelikan jam tangan sailormoon. Itulah jam tangan pertamaku.

Kenangan yg lain adalah tentang sampul buku berwarna coklat. Yg selalu dengan telaten beliau sampulkan pada buku catatanku dan kakak agar tetap rapi. Pensil2ku diraut papa dgn tajam. Sepatu sekolahku pun disemir hitam. Lucu. Namun sejak hari itu aku tahu apa yg tersimpan di hati papa. Sesuatu yg seumur hidup tak pernah beliau katakan: sekolahlah setinggi2nya melampaui apa yg telah papa raih.

Hari ini aku gamang. Menyalami seseorang yg sebentar lagi berangkat utk sekolah ke luar negeri. Kulihat bayanganku yang terpantul dari kaca lemari. Aku nampak mengkerut disana. Seperti pesakitan yg putus asa akan masa depannya sendiri. Aku merasa sampah. Seburuk2nya sampah. Dan aku merasa hina. Sehina2nya anak durhaka yg tak mampu memenuhi harapan orangtuanya.

Terkenang kembali akan masa2 SDku dgn papa. Tangan kurusnya membentangkan karton manila putih. Membuat garis2 sejajar dgn ukuran tertentu lalu mulai mengukir huruf2 besar. Become Became Become. Break Broke Broken. Give Gave Given. Take Took Taken. Berpuluh kata berderet di sana. Aku takjub. Begitu cara beliau agar aku mudah belajar bahasa inggris. Maka saat itu kupikir papaku adalah salah satu orang paling pintar di Indonesia. Selevel dgn para menteri2 kabinet pembangunan VI. Mungkin Ali Alatas, atau Harmoko, atau yg lainnya.

Kini, melihat ke dalam diri sendiri yg hidup tanpa ambisi ini, aku sadar dalam sepenuh2nya kesadaran. Bahwa aku tak mampu menjadi apa yg papaku harapkan. Sekolah yg tinggi. Jadi manusia berguna. Membanggakan negara dan orangtua. Semua yg terbaca olehku lewat sorot matanya membuatku merasa amat bersalah. Betapa aku ini adalah anak yg tak berguna dan selalu mengecewakan.

Maka petang ini, kutenggelamkan diriku dalam tumpukan dokumen2 kantor untuk menutup rasa bersalah pada papa. Dan rasa bersalah pada diri sendiri yg hidup tanpa mimpi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS