RSS

Dari seorang adik yang sangat kanak-kanak untuk keempat abangnya

Kakak..
Lebih dari satu dasawarsa sejak menit-menit yang kita habiskan di setiap maghrib untuk shalat berjamaah. Kupakai peci hitam punya ayah dan meracau tak jelas setiap kali bersujud. Kakak ingat? Aku ingin menjadi laki-laki seperti kakak. Supaya aku bisa memanjat  dan bermain robot-robotan punya kakak. Supaya kakak tak lagi kesal ketika aku selalu mengekori kakak kemana-mana.

Kakak..
Aku masih ingat cerita si kancil yang selalu kakak ceritakan padaku setiap malam. Kancil yang menipu buaya, kancil yang mencuri timun, kancil yang berlomba dengan kura-kura. Aku juga masih ingat pada kembang api yang sering kita gantungkan di ranting pohon saat ramadhan tiba. Atau saat kakak menjulangku tinggi-tinggi ke bahu kakak dan membawaku jalan-jalan di setiap sore.

Kakak..
Sudah lama ya kita tak lagi duduk bersama di meja makan menghabiskan sarapan kita. Sebab waktu telah menelan banyak kenangan diantara aku dan kakak. Membuatnya kini tak lebih dari halaman usang berstempel masa lalu. Tapi aku tak mungkin menyalahkan waktu apalagi memintanya untuk kembali. Sebab waktu tak pernah mau peduli. Sebab waktu terlalu keras hati.

Kakak..
Dulu aku pernah minta pada Tuhan supaya warna senja jangan berganti. Sebab jika ia tak lagi jingga, kakak pasti tak lagi mengajakku jalan-jalan ke pelabuhan di sore hari.

Kakak..
Dulu aku pernah minta pada Tuhan supaya kakak jangan jauh-jauh pergi. Sebab jika kakak tak lagi disini, aku tak punya cukup teman untuk mengusir sepi.

Kakak..
Dulu aku juga pernah minta pada Tuhan supaya kita tidak perlu beranjak tua, sebab aku takut kalau nanti kakak mati. atau jangan-jangan aku yang lebih dulu mati.

Kakak..
Mendapati banyak hal antara aku dan kakak yang sudah berganti, mendapati kakak yang kini sudah sibuk dengan dunia kakak sendiri, aku tak punya kata-kata yang cukup untuk menggambarkan suasana hati.

Ah kakak..
Aku sedih untuk tahu bahwa kelak bukan tanganku yang akan kakak pegang saat hendak menyeberang di jalan, tapi tangan istri kakak. Aku sedih untuk tahu bahwa kita bukan anak-anak lagi, dan kakak tak lagi menjulangku tinggi ke atas bahu kakak atau menggendongku dan menboncengku naik sepeda. Aku sedih karena pada akhirnya aku harus mengikhlaskan kakak untuk menjadi milik orang lain, orang lain yang akan kakak hapus airmatanya ketika ia menangis, yang akan kakak hibur hatinya ketika bersedih, yang bersamanya akan kakak bagi semua kebahagiaan, tawa dan cerita. Aku sedih untuk tahu kenyataan itu namun harus mengikhlaskannya.

Kakak..
Jika dewasa harus merebut kakak dariku, jika dewasa harus memisahkan aku dari kakak, jika dewasa membuat jarak antara aku dan kakak semakin jauh, dengarlah ini kakak.. aku tak ingin jadi dewasa, aku ingin jadi anak-anak saja selamanya. Supaya kakak tetap menjulangku tinggi ke bahu kakak, supaya kakak pegang tanganku ketika menyeberang, supaya kakak cubit terus pipiku atau menarik-narik hidungku, supaya kakak elus rambutku hingga aku tertidur di paha kakak.

Kakak tahu?
Aku bangga melihat kakak yang gagah dalam setelan jas hitam sembari mengucapkan ijab-kabul untuk perempuan yang kakak nikahi. Tapi bersamaan dengan itu aku takut, rasa takut yang membuat airmataku mengucur pelan lalu kuusap cepat. Apakah rasa sayang kakak untukku masih seperti dulu? Apakah kakak masih akan mencemaskanku? Apakah kakak masih akan sering menanyakan kabarku? Aku takut.. aku takut perlahan kakak akan lupa denganku karena dibelakang kakak sudah ada perempuan lain yang kakak sayangi. Dan aku pada akhirnya cuma bisa meminta pada Tuhan semoga perempuan itu akan selalu memperlakuan kakak dengan baik dan menyayangi kakak melebihi rasa sayangku pada kakak..

Kakak..
Aku rindu kalian..

Untuk Ongko Sun, Ongko Han, Ongko Yus & Ongko Chai.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment