Munaroh, cucu nenek tersayang..
Malam ini hujan turun deras sekali. Menurut persangkaan nenek, sepertinya ada
beberapa titik di Jakarta ini yang sedang mengalami banjir. Biasalah, Mun, itu
sudah lagu lama. Dan nenek pun dapat menerawang, jalanan kini sedang sangat
macet-macetnya. Beruntunglah kita yang sedang duduk-duduk di depan sofa ruang
keluarga. Minum teh hangat dengan sepiring bronis kukus sembari menyaksikan
sinetron murahan di telepisi. Nenek sangat menikmati saat-saat seperti ini
karena barangkali besok atau lusa nenek sudah tidak ada di sini, Mun. Bersenda
gurau bersama kau, bapak kau, mamak kau,
juga adik kau si Muqadar yang genit itu.
Mari sini Munaroh, cucu nenek
tersayang. Nenek kisahkan padamu tentang masa muda nenek dahulu. Tahukah kau
macam apa masa remaja nenek? Sungguh tidaklah seperti gadis-gadis sebayamu yang
suka hura-hura. Nenek adalah pekerja keras. Subuh-subuh pukul tiga nenek sudah
bangun, membantu orangtua nenek menyiapkan dagangan berupa sayur-sayuran untuk
di jual di pasar.
Tahukah kau, Munaroh, kisah
tentang masa kanak-kanak nenek? Dulu bagi nenek apalah indahnya hidup ini
jikalau yang nenek lakukan setiap harinya hanyalah membantu orang tua nenek
berjualan sayur, sembari sesekali mengintip teman-teman nenek yang berjalan
dengan sepatu necis menuju tempat menimba ilmu. Ya, itulah sekolah. Tempat yang
sangat nenek sukai tapi tak pernah bisa nenek masuki. Sungguh ingin sekali hati
nenek mengetahui berupa-rupa ilmu seperti halnya yang teman-teman nenek
pelajari, tapi apa daya itu tak mungkin.
Sebagai anak tertua, patutlah
nenek membantu orangtua sahaja. Urusan sekolah biarlah sudah nenek pendam
dalam-dalam di hati kecil nenek. Lagipula nenek masih punya tiga orang adik
yang juga butuh makan. Nenek tak boleh egois merengek minta ini-itu. Cukuplah
setiap sore nenek menimba ilmu agama di surau. Belajar mengaji dan ilmu tajwid.
Mendengar kisah para nabi dan rasul kita. Nenek pikir jikalau ilmu dunia tak
bisa nenek dapatkan di bangku sekolahan, paling tidak nenek bisa mendapatkan
sedikit tentang ilmu akhirat. Itulah yang disebut dengan prinsip, duhai cucuku
Munaroh.
Hari ini, jaman sudah semakin
canggih. Orang-orang belajar bisa dari mana saja. Dari eternet, dibuka dari
tablet. Apapula benda sebesar itu dinamainya tablet? Jaman nenek masih muda,
tablet itu cuma untuk orang-orang sakit, buat diminum biar lekas sembuh.
Bukanlah buat dipencet-pencet. Tapi sungguh nenek tak paham. Dunia sekarang
sudah semakin gila. Tak ada yang bisa nenek pahami. Anak-anak seumuran kau dan
si Muqadar itu bukannya belajar dengan segala pasilitas, eh malah melakukan hal
yang tidak-tidak.
Pahamkah kau Munaroh apa yang
kumaksudkan dengan hal yang tidak-tidak itu? Ya itu dia! Macam mana itu nenek
liat di berita ada anak sekolahan yang dipergoki di warnet sedang telanjang
bulat dengan teman-temannya. Eternet tidaklah mereka pake buat bahan belajar,
eh malah untuk porno-pornoan. Sakit hati nenek mengetahui semua itu. Belum lagi
itu anak-anaknya artis yang disuruh berenti sekolah. Dipikirnya jadi artis saja
sudah bagus untuk masa depan? Sudah bagus untuk hari tua? Tak masuk akal sama
sekali. Tak bisa nenek cerna dengan akal sehat. Orang tua bukannya didik anak
biar hidup sederhana, eh malah dibelikannya mobil yang dipakai buat nabrak
orang-orang sampe tewas. Benar-benarlah tak masuk di akal.
Kalau jaman nenek remaja dibelikan
mobil seperti itu? Alamak! Nenek jual itu mobil biar duitnya nenek pake buat
sekolah di luar negeri. Keren betul. Sekolah di luar negeri, bicara bahasa
swas-swis-swes, bercakap-cakap sama bule hidung mancung. Pas pulang ke
Indonesia, nenek bangun negara ini supaya jadi lebih baik. Tapi itu cuma mimpi
nenek sahaja. Nenek sudah 77 tahun. Apalah yang bisa nenek buat selain menunggu
ajal? Tak ada.
Maka kau Munaroh, nenek pesankan
untuk jadi anak yang baik. Jangan mentang-mentang bapak kau direktur hotel
bintang lima, jangan mentang-mentang mamak kau punya besnes properti di pulau
Jawa ini kau bisa seenak jidat berbuat hal-hal bodoh penuh kesombongan.
Buanglah jauh-jauh sifat macam itu. Jadi anak yang patuh, yang gemar belajar,
yang sopan pada orangtua. Lihatlah bapak kau. Biar kata duitnya sudah satu
lemari begitu, mana pernah dia lupa sama orang kecil? Itu karena nenek ajarkan
dia jadi pribadi yang sederhana, yang tak suka sombong dan pamer. Mengertikah
itu kau Munaroh?
Bolehlah kau sebut nenek ini
cerewet. Tapi nenek sayang padamu. Nenek mau jikalau nenek mati nanti, darah
nenek yang dulunya penuh banyak mimpi ini mengalir juga dalam darahmu. Supaya
kau buat Indonesia ini tersenyum seperti cita-cita nenek. Kau paham kan, cucuku?
Malam Idul Adha 14 Oktober 2013,
ketika rasa ingin pulang begitu besar..
0 comments:
Post a Comment