Seorang kawan pernah bertanya, apa sih yang hendak saya
bagikan dan abdikan buat tempat ini? Dan jawaban saya: tak ada.
Dulu, duluuuu sekali ketika semangat saya masihlah mercon di
malam pergantian tahun, saya punya banyak mimpi untuk tempat ini. Tentang angan-angan
saya, dan apa-apa saja yang harus saya baktikan demi kemajuan tanah kelahiran
saya. Ambisius. Tak kenal kompromi. Tak mau ditawar-tawar.
Kini, melihat ke dalam diri yang tak lebih dari kacung sistem
pemerintahan bobrok, saya mulai pesimis. Sebut saya apa saja, tak masalah. Cerca
saya dengan umpatan apa saja, saya tak peduli. Saya telah menjelma si apatis yang
masa bodoh soal perubahan.
Saya bukan lagi Elvira di masa SMA yang bergairah karena termakan
semangat Gie dalam buku catatan harian Soe
Hok Gie. Saya tak lagi dirasuki kekuatan Che Guevara, Fidel Castro, atau
orang-orang hebat manapun yang menjadi kiblat saya dalam melakukan pembenahan
dan perubahan. Saya adalah saya, yang tak lagi mengerti akan dirinya sendiri.
Kadangkala hati kecil saya berharap, akan ada seseorang yang
datang mengembalikan saya menjadi diri saya yang kemarin. Tapi lagi, saya tahu
semua itu tak ubahnya dongeng pengantar tidur.
Sejak hari dimana saya memutuskan mengubur semua mimpi,
entah mengapa setiap pagi saya terbangun dengan rasa sakit yang bertambah satu.
0 comments:
Post a Comment