Saya sering merasa iri pada mereka yang suka melakukan
perjalanan-perjalanan jauh, mengunjungi banyak tempat, menjumpai beragam
manusia, lalu membuktikan pada diri sendiri betapa mereka mampu bertahan dalam
situasi-situasi sulit. Sementara saya, tak lebih dari pegawai rendahan dengan
gaji pas-pasan yang jangankan untuk berperjalanan, untuk jajan pun saya masih
berpikir ulang, cukup tidak ya nanti tabungan saya untuk menikah, membeli
rumah, membantu kuliah adik, dan seterusnya.
Kadang ketika hasrat ingin begini dan begitu sudah terlalu
memuncak, saya dipaksa oleh diri sendiri untuk belajar makna menjadi manusia
sederhana. Saya lihat orang tua saya yang begitu biasa, yang kesehariannya
hanyalah bentuk pengulangan dari tahun ke tahun, yang telah mendepak jauh-jauh
kata bosan dari dalam pikirannya, dan lalu menerima bahwa hidup mereka tak
mesti sama dengan orang-orang di luar sana yang bahagia dengan beralaskan timbunan
materi.
Betapa saya iri pada kebersahajaan orangtua saya. Pada Mama
saya yang tak banyak protes, tak banyak bicara, tak banyak menuntut, dan selalu
meluaskan hati untuk satu kata bernama penerimaan. Dan Papa saya, lelaki senja
yang usianya lima tahun lebih tua dari usia kemerdekaan negara ini, adalah
seorang pensiunan yang setiap awal bulan selalu riang gembira menunggu nomor
antrian di sebuah bank BUMN, hanya untuk mengambil santunan negara dengan nominal
dua juta lebih, tapi sungguh tak sekalipun beliau pernah mengeluhkan itu. Mengeluhkan
betapa minimnya pendapatan, betapa tak cukupnya uang untuk menguliahkan adik saya, atau betapa sepasang
suami-istri itu begitu ingin sekali berangkat haji namun apa daya, satu sen
rupiah dari hidup mereka pun telah mereka gadaikan untuk mensarjanakan tujuh
orang anak.
Banyak hal yang sulit saya pahami dan saya terima. Banyak
ketidakadilan hidup yang sering saya pertanyakan. Banyak keinginan yang
tumpang-tindih di dalam kepala. Tapi apapun itu, akan menjadi buyar ketika
mengingat orangtua yang begitu sederhana dan menerima hidup mereka yang tak
mudah itu. Setiap harinya, dalam bilangan angka-angka yang melebihi puluhan,
mereka dengan amat biasa mengulang rutinitas yang bagi saya teramat menjemukan.
Dari subuh hingga malam,dari tahun demi tahun, dari kami kecil hingga dewasa, Mama
saya terutama, adalah orang yang tetap setia bangun paling pagi menyiapkan
sarapan, membersihkan rumah dan halaman, merawat tanaman, membuatkan jajanan
sore, mencuci baju-baju kami, mendampingi kami belajar setiap malam. Mungkin
beliau pernah jenuh, mungkin pula beliau pernah iri pada orang lain yang
kehidupannya jauh lebih mapan. Tapi beliau tak pernah sedikitpun berniat
meninggalkan Papa saya, atau merajuk menuntut kehidupan yang lebih baik lalu
meninggalkan kami terlantar dalam mimpi-mimpi besar tanpa punya kesempatan
untuk sekolah tinggi.
Lalu saya, saya malu mendambakan hidup seperti orang lain.
Saya malu mengeluhkan mengapa teman-teman saya bertamasya ke luar angkasa,
sementara saya harus bekerja pontang-panting di kampung orang untuk mengumpulkan
rupiah demi kehidupan keluarga yang lebih baik. Hidup tak mesti sama, masing-masing
orang terberkati dengan kesenangan yang berbeda-beda. Bersyukur, menerima,
melapangkan dada,berbagi dengan sesama, berbaik sangka pada-Nya, adalah
sebenar-benarnya cara menjalani hidup yang sungguh hanya sebentar ini.
0 comments:
Post a Comment