Kakak..
Lebih dari satu dasawarsa sejak menit-menit yang
kita habiskan di setiap maghrib untuk shalat berjamaah. Kupakai peci
hitam punya ayah dan meracau tak jelas setiap kali bersujud. Kakak
ingat? Aku ingin menjadi laki-laki seperti kakak. Supaya aku bisa
memanjat dan bermain robot-robotan punya kakak. Supaya kakak tak lagi
kesal ketika aku selalu mengekori kakak kemana-mana.
Kakak..
Aku
masih ingat cerita si kancil yang selalu kakak ceritakan padaku setiap
malam. Kancil yang menipu buaya, kancil yang mencuri timun, kancil yang
berlomba dengan kura-kura. Aku juga masih ingat pada kembang api yang
sering kita gantungkan di ranting pohon saat ramadhan tiba. Atau saat
kakak menjulangku tinggi-tinggi ke bahu kakak dan membawaku jalan-jalan
di setiap sore.
Kakak..
Sudah lama ya kita tak lagi duduk
bersama di meja makan menghabiskan sarapan kita. Sebab waktu telah
menelan banyak kenangan diantara aku dan kakak. Membuatnya kini tak
lebih dari halaman usang berstempel masa lalu. Tapi aku tak mungkin
menyalahkan waktu apalagi memintanya untuk kembali. Sebab waktu tak
pernah mau peduli. Sebab waktu terlalu keras hati.
Kakak..
Dulu
aku pernah minta pada Tuhan supaya warna senja jangan berganti. Sebab
jika ia tak lagi jingga, kakak pasti tak lagi mengajakku jalan-jalan ke
pelabuhan di sore hari.
Kakak..
Dulu aku pernah minta pada
Tuhan supaya kakak jangan jauh-jauh pergi. Sebab jika kakak tak lagi
disini, aku tak punya cukup teman untuk mengusir sepi.
Kakak..
Dulu
aku juga pernah minta pada Tuhan supaya kita tidak perlu beranjak tua,
sebab aku takut kalau nanti kakak mati. atau jangan-jangan aku yang
lebih dulu mati.
Kakak..
Mendapati banyak hal antara aku dan
kakak yang sudah berganti, mendapati kakak yang kini sudah sibuk dengan
dunia kakak sendiri, aku tak punya kata-kata yang cukup untuk
menggambarkan suasana hati.
Ah kakak..
Aku sedih untuk tahu
bahwa kelak bukan tanganku yang akan kakak pegang saat hendak
menyeberang di jalan, tapi tangan istri kakak. Aku sedih untuk tahu
bahwa kita bukan anak-anak lagi, dan kakak tak lagi menjulangku tinggi
ke atas bahu kakak atau menggendongku dan menboncengku naik sepeda. Aku
sedih karena pada akhirnya aku harus mengikhlaskan kakak untuk menjadi
milik orang lain, orang lain yang akan kakak hapus airmatanya ketika ia
menangis, yang akan kakak hibur hatinya ketika bersedih, yang bersamanya
akan kakak bagi semua kebahagiaan, tawa dan cerita. Aku sedih untuk
tahu kenyataan itu namun harus mengikhlaskannya.
Kakak..
Jika
dewasa harus merebut kakak dariku, jika dewasa harus memisahkan aku
dari kakak, jika dewasa membuat jarak antara aku dan kakak semakin jauh,
dengarlah ini kakak.. aku tak ingin jadi dewasa, aku ingin jadi
anak-anak saja selamanya. Supaya kakak tetap menjulangku tinggi ke bahu
kakak, supaya kakak pegang tanganku ketika menyeberang, supaya kakak
cubit terus pipiku atau menarik-narik hidungku, supaya kakak elus
rambutku hingga aku tertidur di paha kakak.
Kakak tahu?
Aku
bangga melihat kakak yang gagah dalam setelan jas hitam sembari
mengucapkan ijab-kabul untuk perempuan yang kakak nikahi. Tapi bersamaan
dengan itu aku takut, rasa takut yang membuat airmataku mengucur pelan
lalu kuusap cepat. Apakah rasa sayang kakak untukku masih seperti dulu?
Apakah kakak masih akan mencemaskanku? Apakah kakak masih akan sering
menanyakan kabarku? Aku takut.. aku takut perlahan kakak akan lupa
denganku karena dibelakang kakak sudah ada perempuan lain yang kakak
sayangi. Dan aku pada akhirnya cuma bisa meminta pada Tuhan semoga
perempuan itu akan selalu memperlakuan kakak dengan baik dan menyayangi
kakak melebihi rasa sayangku pada kakak..
Kakak..
Aku rindu kalian..
Untuk Ongko Sun, Ongko Han, Ongko Yus & Ongko Chai.