Saya baru saja membaca note milik
sepupu saya. Judulnya “Laut, Pelabuhan, dan Bajak Laut”. Saya tidak akan
membahas tentang isi dari note tersebut karena itu bukan poin saya.
Saya hanya tiba-tiba menjadi teringat akan kata-kata itu. Laut..
palabuhan..
Laut..
dari sana saya berasal. Laut.. adalah tempat saya kembali dari
perjalanan panjang saya. Adalah tempat yang saya tuju dengan mengayuh
sepeda untuk sekedar menikmati anginnya yang sepoi, atau melempar
kerikil-kerikil kecil ke riak airnya sejauh yang saya bisa. Tentu saja
untuk melampiaskan kekesalan saya pada hidup yang terkadang sangat tidak
bersahabat dengan orang seperti saya (baca: dimarahi orang tua). atau
terkadang malah berlomba dengan teman-teman sebaya, siapa yang bisa
paling jauh lemparan batunya, dia yang paling hebat. Laut, tempat yang
akrab bagi kami, anak-anak kampung berjidat mengkilap yang tak pernah
peduli segosong apa kulit kami nanti jika bertandang ke laut di siang
bolong. Laut sudah seperti markas besar kami, tempat kami bercerita
tentang mimpi-mimpi klasik setinggi langit dengan ambisi kanak-kanak
kami. Jadi dokter, jadi polisi, jadi presiden. Dan saya yang sampai
setua ini phobia terhadap jarum suntik tak pernah menuliskan dokter
sebagai cita-cita saya. Tidak juga presiden karena saya sudah cukup
cerdas untuk tahu bahwa menjadi presiden adalah hal yang sangat
membosankan tanpa pernah saya kenal dengan istilah power is sweet.
Menjadi orang yang berkuasa itu menyenangkan. Tapi tak mengapa.
Cita-cita saya sangat modern kala itu, juga sangat kekanakan. saya ingin
jadi astronot. Ada teman-teman saya bahkan yang tak paham arti kata
astronot. Cukup saya umpat mereka dengan satu kata: Bodoh (setelah
dialihbahasakan). Betapa kerennya jadi seorang astronot, pergi ke bulan,
meneliti bintang-gemintang, dan bersahabat dengan makhluk luar angkasa
(?).
Laut
sudah seperti ibu kandung saya sendiri. Dia membesarkan saya dengan
mengenalkan saya pada kerang-kerang yang cantik, pada rasa airnya yang
asin, pada ikan-ikan kecil warna-warni yang sering saya tangkap bersama
teman-teman. Ikan-ikan itu kami taruh ke dalam stoples milik ibu-ibu
kami yang kami curi diam-diam di dapur. Lalu jika ikannya sudah mati,
kami akan menguburkannya di halaman belakang rumah. Memperlakukannya
persis sebagai manusia yang telah meninggal, lalu memanjatkan doa
bersama meski hanya di dalam hati. Laut mengajarkan saya untuk menjadi
pribadi yang setia, sebab ia seumpama waktu, terus menemani tumbuh
kembang saya dari masa ke masa.
Laut,
pelabuhan, kapal-kapal barang, perahu-perahu nelayan. Kehidupan kami
sangat akrab dengan hal-hal itu. Di pelabuhan, kami sering melompat dari
satu kapal ke kapal lainnya. Tak peduli jika orang dewasa memarahi
kami. Yang kami tahu kami harus bermain sepuasnya dan bertualang seperti
bajak laut. Kami naik perahu yang entah milik siapa lalu mendayung
seperti orang kesetanan. Kami berteriak, tertawa, saling mendorong agar
yang lainnya terjatuh dari perahu, tak peduli bahwa mungkin orang dewasa
saat itu sedang memikirkan soal politik, soal nafkah, atau soal ibu-ibu
kami yang akan menyajikan hidangan apa untuk makan malam nanti. Kami
tak pernah memikirkan hal lain selain bermain. Apalagi memikirkan
tentang masyarakat kami yang selalu miskin di tengah kekayaan laut
provinsi kami yang terbesar di Indonesia. itu tak pernah masuk dalam
obrolan kami karena kami hanyalah anak-anak kecil yang polos. Setelah
badan kami semua basah oleh air laut, kami memutuskan untuk berenang,
berebutan pelampung, dan bermain adegan yang sangat sinetron yakni
pura-pura menjadi putri duyung. Saya yang entah kenapa sampai saat ini
masih mempertanyakan peran saya yang tak pernah satu kalipun ditunjuk
sebagai putri duyung. Tanpa ada musyawarah mufakat, tanpa ada
perhitungan suara seperti layaknya pemilukada, saya selalu diamanahkan
untuk menjadi penjahat. Bermacam-macam penjahat. Mulai dari bajak laut,
penculik putri duyung, sampai dengan pencuri harta karun. Tugas saya
hanya tertawa-tawa keras, marah-marah, menampar putri duyung, dan
membuat keputusan-keputusan jahat penuh ambisi. Namun saya harus
brsyukur karena saya tidak pernah mendapatkan peran sebagai batu,
sebagai keong ataupun sebagai rumput laut. Kami bermain sepuasnya sampai
kulit-kulit kami mengerut kedinginan dan kami hanya akan pulang jika
adzan maghrib telah bersahut-sahutan.
Entah
kenapa saya menjadi rindu akan masa kecil saya, juga teman-teman sebaya
yang nyaris tidak saya ketahui keberadaannya kini. Pelabuhan ina marina
yag saya rindui, pelabuhan mati yang di sana pernah duduk manis sebuah
kapal karatan tempat ikan-ikan kecil bersembunyi, apa kabarnya ia? Saya
ingat di suatu sore saya pernah duduk di sana, bercerita pada laut yang
sepi tentang kerinduan saya pada masa kecil yang indah, tentang
cita-cita saya yang kala itu tidak lagi ingin menjadi astronot karena
mungkin saya terlalu naif. Tapi saya proklamasikan di hadapan laut, di
hadapan airnya yang pasang kala itu, dan saya akhiri dengan satu
lemparan kerikil nun jauh ke warna birunya yang begitu saya cintai,
bahwa saya ingin menjadi wartawan. Wartawan.. saya suka sekali kata itu.
Saya terobsesi, semacam sebuah kegilaan stadium awal. Saya tidak perlu
ke bulan karena saya sangat realistis memaknai keadaan saya. Saya hanya
ingin menjadi wartawan dan berkelana ke tempat-tempat yang jauh,
menjumpai berbagai macam manusia, berbagai macam karakter, berbagai
macam budaya. Mendengar bahasa-bahasa yang asing namun punya keunikan,
meliput hal-hal ganjil untuk diceritakan pada khalayak ramai, sungguh
saya benar-benar terobsesi menjadi wartawan.
Dan
kini, saya ingin mengunjunginya lagi. Bercerita pada laut tentang
seperti apa diri saya saat ini. tentang astronot, tentang wartawan,
tentang seorang calon pegawai kantor statistik yang sangat tidak
mengerti apa-apa tentang statistik. Tentang saya yang mungkin sampai tua
hanya akan terkurung di negeri ini. negeri yang carut-marut
pemerintahannya, yang bangga pada kekayaan alamnya namun masih berhutang
di sana-sini. saya ingin bercerita banyak kepada laut, kepada
gelombang-gelombang airnya, kepada anginnya yang sepoi, kepada hawanya
yang menghitamkan kulit-kulit kami, bahwa satu dari sekian banyak hal
yang saya benci dalam hidup ini adalah menjadi orang dewasa.
0 comments:
Post a Comment