Pagi selalu berarti gairah. Di tepi
pagi orang menitipkan mimpi, atau barangkali visi -sesuatu yang terdengar lebih
besar dari sekedar mimpi yang notabene hanyalah kembang tidur. Maka sebagian orang
bangun mendahului matahari, bersembahyang, lalu bergegas menjemput rezki yang
dengan sangat sibuknya tengah ditebarkan oleh Jibril di muka bumi.
Dulu saya pernah jatuh cinta pada pagi. Pada hawanya, pada embunnya, pada caranya membuat saya rindu. Kini tak lagi. Saya adalah paradoks. Memulai pagi
dengan mencomel entah pada apa. Tuhan kah yang saya salahkan karena membuat
malam terlampau singkat? Hingga kantuk masih tersisa di sudut-sudut kepala. Ah,
tidak! Tuhan tidak pernah salah. Saya yang salah. Pikiran saya yang terlalu parokial
karena tidak punya animo terhadap pagi. Orang menginterpretasikan pagi sebagai
asa, saya memparafrasekannya sebagai bala.
Barangkali saya memang kurang
bersyukur. Setiap waktu yang Tuhan beri adalah afwah, adalah anugerah. Tapi saya
yang terlalu pongah hingga hanya mencintai sore. Mencintai senja. Bagi saya momen-momen
senja selalu menarik hati. Membangkitkan unsur-unsur melankolik dalam diri
untuk berkontemplasi, untuk menundukkan kepala seraya mempertanyakan begitu
banyak hal yang tak mampu dijawab oleh manusia. Hanya Tuhan yang punya
jawabannya.
Sore berarti perenungan yang selalu
membawa saya pulang. Pulang pada diri sendiri setelah saya terlampau jauh mengembara,
tersesat, hilang arah demi mencari-cari sesuatu yang saya pun tak tahu.